KAMPANYE DI MEDIA SOSIAL RANAH SIAPA ?
14.42
Syafri Hariansah S.H. M.H.
Academician/expert team the election
supervisory board
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan
teknologi mempengaruhi setiap lini kehidupan. Distribusi informasi semakin
dirasa efektif cepat dan efesien. Dari data yang dipublish kominfo terdapat
88,1 Juta pengguna internet di Indonesia dan 84% Pengguna internet adalah usia
muda.63 juta penduduk Indonesia sebagai pengguna aktif Facebook, dan 50 Juta
orang sebagai pengguna twitter. Data statistic diatas menunjukan korelasi bahwa
manusia sebagian human being memiliki kecenderungan terhadap teknologi dan
internet. Tanpa disadari perkembangan teknologi dan penggunaan internet
mempengaruhi demokrasi dalam suatu negara. Sebagai contoh gerakan masa di Mesir
yg diinfokan melalui Facebook dan Twitter, dukungan penerapan demokrasi secara
utuh di Hongkong dan fakta terbaru tentang pemanfaatan media sosial oleh calon
anggota Legislatif pada pemilu 2014 serta “duel maya” antara Prabowo-Hatta
dengan Jokowi-Jusuf Kalla dalam mensosialisasikan program mereka kepada voters.
Realitas di atas menjadi sebuah fakta yang
tidak terbantahkan bahwa kampanye di media sosial seperti Facebook, Twitter dan
media social lainnya menjadi sebuah trend baru yang digunakan seseorang untuk
mensosialisasikan diri. Secara sederhana jika dilakukan analisis maka dapat
ditarik beberapa point penting berkenaan dengan kampanye di media sosial. Dari
sisi efektifitas, kampanye di media sosial relatif lebih murah bahkan gratis
dan jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemasangan spanduk atau baliho di
jalan protokol,serta tidak mengenal istilah masa tenang yang secara otomatis
tidak akan ada pengawas pemilu yang akan menertibkan atau memperingati kandidat.
Pemaknaan “Kampanye” dalam penjabaran
normatif dirasa menimbulkan multi tafsir sehingga banyak calon dapat
memanfatkan sisi lemah dalam sebuah aturan kampanye. Namun jika dilihat dari
sisi definisi, maka secara sederhana kampanye dapat dipahami sebagai :
A communication campaigns is an organized
communication activity, directed at a particular audience, for a particular
period of time, to achieve a particular goal.
Harus diakui bersama bahwa sepanjang
perjalanan pemilu di Indonesia aturan tentang kampanye di Media sosial ini
tidak diatur, walaupun kemudian kampanye di Media sosial baru menjadi trend
pada saat pilpres pertama yakni pada tahun 2004. Sejalan dengan teori hukum
bahwasanya aturan diciptakan sebagai bentuk reaksi atas sebuah permasalahan.
Dalam pelakasanaan pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota pada tahun 2015 KPU
dalam aturannya (PKPU) No. 7 Tahun 2015 mengatur secara eksplisit iklan
kampanye di Media Masa yakni dalam pasal 32 ayat (1) butir b KPU memfasilitasi
penanyangan iklan kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) pada
media massa elektronik, yaitu televisi, radio dan/atau media dalam jaringan
(online); Namun yang menjadi pertanyaan besarnya adalah bagaimana pengawasan kampanye
di media sosial ini? mengingat media social sulit untuk dibatasi apalagi
diawasi setiap pergerakannya.
Sinergisitas Penyelenggara Pemilu dan
Kominfo
Dalam pelaksanaannya Pemilu yang demokratis
harus mencakupi beberapa aspek penting misalnya netralitas penyelenggara
pemilu, transparansi dalam setiap tahapan, peran serta masyarakat serta
diperlukannya upaya penyamaan persepsi antar lembaga daerah.
Perdebatan yang muncul kepermukaan ialah
berkenaan dengan lembaga/institusi mana yang memiliki kewenangan dalam
mengawasi kegiatan kampanye di media sosial. Harus diakui bersama aturan
mengenai kampanye di media sosial baru diatur pada tahun 2015, aturan yang baru
ini melahirkan konsekuensi logis yakni belum diaturnya mekanisme pengawasan di
media sosial oleh Bawaslu. Namun di satu sisi jika melihat kewenagan yang
dimiliki oleh Kominfo saat ini yaitu memiliki kewenangan dalam pengawasan
“dunia maya” maka tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, Bawaslu dapat bersinergi dengan kominfo dalam upaya
membatasi kampanye di media sosial (online).
Kampanye di media sosial menjadi pola baru
bagi calon kandidat untuk mensosialisasikan diri kepada masyarakat. Seperti apa
yang telah diutarakan pada paragrap sebelumnya bahwa kampanye di media sosial
tidak terbatas pada waktu dan tidak mengenal isitilah masa tenang, namun dalam
konteks menciptakan pemilu yang berkualitas pola kampanye ini harus segera
dibatasi melalui mekanisme pengawasan terpadu, salah satunya adalah dengan
memitrakan Kominfo dalam upaya mengawasi kampanye di media sosial ini.
Regulasi kampanye di media sosial (Ius
constituendum)
Tidak dapat dipungkiri pengaplikasian
teknologi saat ini menjadi alternatif baru dalam upaya mempermudahkan
kegiatan/aktivitas manusia sebagai makluk sosial. Dalam upaya pengawasan sudah
sepatutnya, Bawaslu membuat mekanisme ideal berkenaan dengan metode pengawasan
misalanya peserta pemilu wajib mendaftarkan akun resmi (baik pribadi, parpol,
dan sebagainya) selama mengikuti tahapan pemilu. Kedua me-release kontain
positif tidak mengandung sara atau hal-hal provokatif. Jika memang kedua
ketentuan ini dilanggar seyogyanya Bawaslu dapat memberi teguran atau
peringatan kepada peserta pemilu.
Solutions for Multiple Interpretation of the Presidential Election Law
09.57Syafri Hariansah S.H. M.H.
Academician/expert team the election supervisory
board
Tuesday, 1th July 2015
There was a
proverb about democracy and general election which says, “In a democratic
society, the poor will have more power than the rich, because there are more of
them, and the will of the majority is supreme.” That saying clearly indicates
how large is the power of citizen in determining a leader, as explained in some
theories of election in Indonesia where the principle of majority support
became absolute as a fundamental basis of the local general election.
Referring to
the constitutional basis, the law principle of general election implementation
in Indonesia had been regulated in article 6A paragraph (1) (2) (3) (4) (5).
Besides, regulation on the elected president had also been discussed in article
6A paragraph (3) and (4) of the constitution. Both articles stated that:
(3) The
candidate of paired President and Vice President which receives more than fifty
per cent of the number of votes in the general election, and receives no less
than twenty per cent of the votes in a province in a majority of provinces,
shall be appointed as the President and Vice President of the country. ***)
(4) In the
event where there is not a pair of President and Vice Presidenti candidate
happened to be elected, the people shall directly choose between the two
candidate pairs that received the most number of votes in the general election,
and the pair that receives the highest number of vote shall be appointed as the
President and Vice President of the country. ****)
ASYMMETRY DI NEGARA FEDERASI, FEDERASI DAN NEGARA KESATUAN
04.20JHON MCGARY
Ilmuan politik pertama yang secara resmi
membahas asimetri dalam konteks federasi amerika adalah Charles tarlton dalam
jurnal politik (tarlton, 1965). Tartlon menunjukan bahwa studi klasik
federasi, oleh K.C Wheare dkk, telah memfokuskan hubungan antara pusat federal
dan daerah serta berasumsi bahwa wilayah tersebut adalah sama hubungannya
dengan pusat maupun yang lain. Selain ity mereka juga beasumsi federasi terdiri
atas daerah yang sama. Tartlon menunjukan fakta bahwa daerah federasi telah
banyak merubah luas, mencakup ukuran, populasi, bobot dalam institusi federasi,
bagian dari alam dan yang berhubungan dengan penelitian, dan budaya dan mereka
sangat menyarankan ketidaksamaan atau asimetri dalam hubungannya dengan yang
lain dan system seluruhnya. Dalam asimetri, tartlon berpendapat memberikan
kenaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan alasannya dari simetri dalam
studi klasik.
Hari ini, diskusi tentang asimetri dan
federasi tidak mengikuti tarlton. Dalam asimetri federasi sekarang biasanya
semua bagian dipahami sebagai garansi konstitusi autonomy. Tapi salah satu
bagian yang berbeda, biasanya mempertinggi, level autonomy daripada
beristirahat.
Asimetri digunakan untuk mendeskripsikan
kasus dimana salah satu bagian adalah daerah yang memiliki autonomi, tetapi
sisanya tidak. Otonomi adalah jaminan konstitusi, dan tidak dapat dibatalkan
oleh Negara pusat yang berwenang, yang berfederasi. Jika pusat membaatalkan
otnomi, maka ada asemetri desentralisasi dalam Negara kesatuan.
Institusi asimetrikal menyusun beberapa
alasan yang berbeda. Cina Negara kesatuan,mengijinkan hongkong untuk setuju
lebih dengan otonomi dariupada menikmati keistirahatan Negara karena sangat
mudah untuk reabsorpsi dan membawa keuntungan ekonomi. Dalam banyak kasus,
bagaimanapun, asimetri adalah respon dari adanya perbedaan pluri-nasional.
Salah satu gagasan respon dari demand for a distinctive otonomi
dari mobilisasi nasional (disini sebagai sebagian Negara atau negara
minoritas), atau ketika anggota independent yang didanai oleh pemerintah
istimewa dalam mengembalikan keutuhan Negara.contoh dari naskah penyusunan
asimetrical dari inggris, dimana skotlandia, wales dan irlandia utara menikmati
perbedaan pemerintahan masing-masing tetapi inggris bekas jajahan wetminster.
Untuk Indonesia yang telah memberikan aceh otonomi yang luas daripada berdiam
diri, dan Malaysia dan india dimana beberapa daerah federal mempunyai autonomy
juga.
Dalam tulisan ini, saya menawarkan dukungan
untuk otonomi asimetri dalam Negara pokok pluri-nasional untuk menunjukan
batasan dari otonomi simetri. Diakhir telah dicatat otonomi
asimetri bukan tanpa kesulitan dan disana ada batasan
bagaimana Negara meneruskan sususan asimetri dengan sisa , tetapi bahaya dari
asimetri tidak melebihlebihkan.
PUSAT DAN DAERAH : FUNGSI, AKSES DAN DISKRESI
03.57Edward C. Page dan Michael J. Goldsmith
Pada periode pasca perang,
studi tentang pemerintah daerah di negara-negara Eropa Barat
didominasi oleh dua masalah, yang keduanya mendapat
perhatian besar dalam praktik kebijakan praktis pemerintah. Yang pertama adalah masalah reorganisasi, yang dinyatakan
dalam hal bagaimana cara 'terbaik' untuk mengatur unit-unit
pemerintah daerah dalam rangka menyediakan pelayanan publik. Apakah kriteria
terbaik itu melibatkan faktor teknis yang
sempit atau faktor politik yang luas atau tidak (Sharpe, 1978;
Dearlove, 1979). Pada tahun 1960 dan 1970-an.
Pemerintah mengajukan proposal untuk
mengubah ukuran unit pemerintah daerah. beberapa
proposal itu sepenuhnya dilaksanakan, seperti di Inggris
dan di negara-negara Skandinavia, tetapi di negara-negara lain,
seperti Italia dan Perancis, pelaksanaannya lebih bersifat tambal
sulam. Mereka juga mengajukan proposal untuk mengubah pola manajemen, seperti
struktur manajemen perusahaan, dan sistem perencanaan
kebijakan dan keuangan. Seiring dengan perjalanan
waktu, banyak literatur akademis yang berhubungan
dengan penjelasan kebutuhan perubahan itu dampak perubahannya telah diproduksi (terakhir, misalnya, dalam buku Rowat,
1980).
Masalah kedua adalah terkait dengan
masalah di atas, tetapi dalam beberapa hal bahkan lebih mendasar. Masalah
kedua ini adalah masalah desentralisasi: apa yang seharusnya
menjadi kekuatan dan kemampuan pemerintah daerah di negara-negara modern? Sejak
terjadinya tekanan fiskal kepada pemerintah daerah pada
pertengahan 1970-an, kebijakan pemerintah pusat yang bertujuan untuk mengurangi
tingkat hibah kepada pemerintah daerah dan, lebih umum, pengeluaran daerah di
beberapa negara, seperti Inggris dan Norwegia, telah
menyebabkan pemahaman sentralisasi pemerintah; di negara-negara lain,
seperti Italia dan Perancis, tindakan yang bertujuan desentralisasi telah
diperkenalkan sebagai bagian dari komitmen pemerintah pusat untuk merestrukturisasi
proses pengambilan keputusan dan meningkatkan peran pemerintah daerah di
dalam negeri negara tersebut.
Dalam bidang desentralisasi ini, tiga
masalah akademik besar telah dikembangkan. Pertama masalah
pendokumentasian sifat sistem desentralisasi sejauh pemerintah daerah yang
bersangkutan; berapa banyak tindakan dalam pembuatan kebijakan berlangsung di
tingkat daerah, atau melibatkan elit politik dan
administrasi (pemerintahan) daerah? Tentu saja, studi
klasik mengenai masalah-masalah, seperti oleh Griffith
(1966) untuk Inggris dan Worms (1966) untuk Perancis,
mendahului tekanan fiskal, dan perdebatan terbaru tentang
sentralisasi atau desentralisasi. Namun, karya mereka memberikan
inspirasi bagi sejumlah studi yang mendeskripsikan pola hubungan pemerintah
pusat-daerah di berbagai negara.
Kedua, ada kekhawatiran dalam
mengembangkan sifat yang tepat dan signifikansi dari setiap perubahan
hubungan pusat-daerah, seberapa jauh reformasi yang telah
diperkenalkan atau diusulkan mengubah pola hubungan tersebut?
Misalnya, ada banyak litarur di Perancis, Spanyol dan Italia
yang melihat pentingnya regionalisasi sebagai
faktor yang mengubah pola tradisional hubungan pusat-daerah (Meny,
1982), dan di Inggris yang mengkaji dampak pembatasan belanja daerah
yang dikenakan oleh pemerintah Konservatif pada tahun 1979 pada
konsep-konsep yang lebih tradisional tentang bidang apa saja
yang seharusnya melibatkan otonomi daerah (Goldsmith dan Newton,
1984).
Perkembangan Kota Administratif Daerah Tingkat II
03.53
Dalam kunjungan saya ke Mendagri (Kementrian
Dalam Negeri) tertanggal 13 Desember lalu, dalam tugas tambahan yang diberikan
oleh Prof. Bhenyamin Hoessein tentang perkembangan kota administratif. Saya
bertemu dengan salah satu staf Kemendagri, bernama Bu Dian, dalam share singkat
kami, beliau menjelaskan permasalah berkenaan dengan Kota Administratif di Indonesia,
menurut beliau untuk kondisi saat ini istilah kota administratif sudah tidak
ada (tidak dipraktekan lagi), tetapi praktek tentang kota adminstratif ini
pernah di praktekan di Indonesia. [1]
Dari beberapa sumber yang saya dapati, Kota
administratif didefinisikan sebagai sebuah wilayah administratif di Indonesia yang dipimpin oleh wali kota administratif. Keberadaan kota administratif diatur
oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota administratif bukanlah daerah otonom
sebagaimana kotamadya atau kota,
dan karena itu tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Walikota administratif
bertanggung jawab kepada bupati kabupaten induknya. Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, di Indonesia tidak dikenal lagi istilah kota administratif
karena pembagian provinsi hanya terdiri atas kabupaten dan kota.
Akibatnya kota administratif harus berubah status menjadi kota atau
bergabung kembali dengan kabupaten induknya.
Dalam Administrasi Negara Indonesia, Kota
adalah satuan administrasi negara otonom di bawah provinsi dan di atas kecamatan, selain kabupaten, yang memiliki ciri fisik sebagai suatu perkotaan.
Penulisannya selalu dengan huruf besar dan sebaiknya disertai dengan nama
penjelas yang mendampinginya (seperti "Kota Semarang") karena Kota
adalah suatu nama diri. Pendirian unit ini didasari oleh UU no 22 tentang
Pemerintahan Daerah tahun 1999. Satuan administrasi ini sebelumnya dikenal
sebagai "Kotamadya".
Kota dipimpin oleh seorang Wali Kota yang
didampingi wakil wali kota. Keduanya dipilih secara bersama secara langsung
oleh warga Kota tersebut. Kota, di Indonesia, adalah pembagian wilayah administratif
setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang wali kota.
Dalam konteks Indonesia istilah ini digunakan untuk membedakan dengan kota yang
secara administratif di bawah sebuah kabupaten. Kota berkedudukan sejajar dengan kabupaten dan
kedudukan wali kotanya sejajar dengan bupati.
Asimetris di Federasi-Federasi Negara, Negara-Negara Federal dan Negara Kesatuan
03.53
John McGarry
Queen’s University, Kingston, Ontario
Ilmuwan politik pertama yang secara
formal membahas asimetris dalam konteks federasi-federasi adalah seorang
berkebangsaan Amerika yaitu Charles Tharlton di dalam “The Journal Politics”
(Tarlton,1965). Tarlton menunjukkan bahwa studi klasik mengenai federasi, oleh
K.C. Wheare dan lainnya, memiliki relasi yang terfokus antara pusat federasi
dan wilayah federasi dan mengira bahwa wilayah federasi masih sama kedudukannya
dalam hubungan mereka dengan pusat federasi dan yang lainnya. Itulah,
mereka yang mengira sebuah negara federasi terdiri dari wilayah yang identik.
Tarlton menunjukkan bahwa faktanya sebuah wilayah dalam negara federasi
bervariasi dengan berbagai cara, termasuk dalam ukuran mereka, populasi dan
bobot suatu institusi dalam federasi, berbagi sumber daya alam dan fiskal, dan
budaya, bahwa ini menunjukkan adanya ketimpangan yang mendalam dalam hubungan
mereka secara asimetris satu sama lainnya dan dengan sistemnya secara
keseluruhan. Asimetris ini, Tarlton berargumen, memunculkan berbagai isu yang tidak
dapat dipahami melalui premis simetris dalam studi klasik.
Dewasa ini, diskusi mengenai asimetris
dan federasi tidak mengikuti “pendekatan Tarlton”. Sebuah federasi asimetris
sekarang selalu dipahami sebagai sebuah negara dimana semua daerahnya mempunyai
jaminan otonomi menurut konstitusi, tetapi dimana ada setidaknya satu daerah
diperlakukan berbeda, biasanya ditingkatkan, level dari otonomi dari yang lain.
Asimetris juga digunakan untuk menggambarkan kasus-kasus dimana sedikitnya satu
bagian dari negara yang menganut otonomi, tetapi yang lain tidak mengikuti.
Jika otonomi ini dijamin oleh konstitusi, dan tidak dapat dibatalkan oleh
otoritas pusat negara secara sepihak, maka “federasi” ada dan diakui. Jika
pusat mampu membatalkan sebuah otonomi, maka ada desentralisasi secara
asimetris dalam negara kesatuan.
Pengaturan institusional asimetris
timbul untuk alasan yang berbeda. China, sebuah negara kesatuan, mengijinkan Hongkong mendapat
otonomi yang lebih luas dibandingkan yang diperoleh oleh sebagian
daerah lainnya, karena ini akan mendorong penyerapan ulang dan membawa
keuntungan bagi ekonomi. Dalam banyak kasus, bagaimanapun, asimetris
adalah sebuah respon terhadap eksistensi dari keanekaragaman bangsa
yang plural. Hal itu bermula baik sebagai tanggapan atas suatu
tuntutan terhadap derajat kekhususan dari sebuah otonomi suatu pergerakan
kebangsaan (didefinisikan di sini sebagai bangsa tanpa negara atau bangsa
“minoritas”), atau ketika sebuah entitas independen secara khusus diberikan
keistimewaan berpemerintahan mandiri sebagai imbalan untuk bergabung kembali
dengan negara tersebut. Contoh masih adanya bentangan pengaturan asimetris dari
United Kingdom (Britania Raya), dimana Skotlandia, Wales, Irlandia Utara semua
menerima perbedaan level untuk berpemerintahan mandiri, tapi Inggris masih
mengatur melalui Westminster; juga Indonesia yang telah memberikan
Aceh tambahan otonomi lebih dari daerah-daerah lain oleh negara; dan Malaysia
dan India, dimana beberapa wilayah federalnya mempunyai kadar otonomi yang
lebih dari yang lain.
Tipe Hukum Philippe Nonet dan Philip Selznick
03.51
Dalam bukunya Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi ini,
pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar
untuk men-sejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan
untuk kepentingan mereka yang berkuasa. Philippe Nonet dan Philip Selznick
mengakhiri suatu cara berfikir tertentu yang bersifat linier dan matematis,
yang dimaksud adalah meletakkan perkembangan dan pembangunan hukum secara
linier yang dikemas dalam bentuk “Teori Modernisasi”. Teori tersebut berjaya
pada tahun 60-an tetapi mulai surut sejak tahun 70-an. Teori modernisasi secara
sederhana mengatakan, bahwa negara-negara berkembang akan mencapai suatu
tingkat perkembang hukum yang dinikmati oleh negara-negara maju atau modern
asal mau mengikuti jalan yang ditempuh oleh masyarakat maju tersebut. Apabila
negara berkembang mampu menghilangkan hambatan-hambatan ke arah modernisasi,
maka akan dijamin menjadi negara maju. Jaminan tersebut lebih banyak tidak
terbukti dan mulailah teori tersebut ditinggalkan.
Maka dari itu Philippe
Nonet dan Philip Selznick mengembangkan model development. Kelebihan
model development Philippe Nonet dan Philip Selznick terletak pada
pemahamannya tentang betapa kompleksnya kenyataan antara hukum dan masyarakat.
oleh teori modernisasi, realitas yang kompleks telah direduksi menjadi sangat
sederhana, sehingga gagal lah teori tersebut membuat ramalan tentang
perkembangan hukum dalam masyarakat. Philippe Nonet dan Philip Selznick
menyadari kenyataan yang rumit antara hukum dan masyarakatnya. disitulah
kelebihan development model mereka. hal tersebut memperkuat keyakinan
kita bahwa semakin kokoh suatu teori berpijak pada pada kenyataan semakin besar
pula kekuatannya. kendatipun Nonet dan Selznick mengunggulkan tipe hukum yang
responsive tetapi itu tetap dipegangnya dengan reserve. keberhasilan
hukum responsif akan sangat ditentukan oleh oleh tersedianya modal sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan. bahkan apabila yang kita inginkan adalah
stabilitas, maka kedua penulis itu lebih mengunggulkan tipe hukum yang otonom.
Sebelum melangkah ke
pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar
dari hukum dalam masyarakat, yaitu: (1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan
refresif, (hukum represif), (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu
menjinakkan refresi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan (3)
hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi
sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif,
otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi
dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum
dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut
tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental
model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen
bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng
dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum
otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang
menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan
terjadinya responsivitas yang lebih besar. Karakter masing-masing tipe dapat
dilihat seperti tabel Tiga Tipe Hukum di bawah ini: