let's share our experience .
Make Your Dreams Come True.."De Leidster van het verzet"

KAMPANYE DI MEDIA SOSIAL RANAH SIAPA ?

Syafri Hariansah S.H. M.H.
Academician/expert team the election supervisory board


Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi mempengaruhi setiap lini kehidupan. Distribusi informasi semakin dirasa efektif cepat dan efesien. Dari data yang dipublish kominfo terdapat 88,1 Juta pengguna internet di Indonesia dan 84% Pengguna internet adalah usia muda.63 juta penduduk Indonesia sebagai pengguna aktif Facebook, dan 50 Juta orang sebagai pengguna twitter. Data statistic diatas menunjukan korelasi bahwa manusia sebagian human being memiliki kecenderungan terhadap teknologi dan internet. Tanpa disadari perkembangan teknologi dan penggunaan internet mempengaruhi demokrasi dalam suatu negara. Sebagai contoh gerakan masa di Mesir yg diinfokan melalui Facebook dan Twitter, dukungan penerapan demokrasi secara utuh di Hongkong dan fakta terbaru tentang pemanfaatan media sosial oleh calon anggota Legislatif pada pemilu 2014 serta “duel maya” antara Prabowo-Hatta dengan Jokowi-Jusuf Kalla dalam mensosialisasikan program mereka kepada voters.

Realitas di atas menjadi sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa kampanye di media sosial seperti Facebook, Twitter dan media social lainnya menjadi sebuah trend baru yang digunakan seseorang untuk mensosialisasikan diri. Secara sederhana jika dilakukan analisis maka dapat ditarik beberapa point penting berkenaan dengan kampanye di media sosial. Dari sisi efektifitas, kampanye di media sosial relatif lebih murah bahkan gratis dan jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemasangan spanduk atau baliho di jalan protokol,serta tidak mengenal istilah masa tenang yang secara otomatis tidak akan ada pengawas pemilu yang akan menertibkan atau memperingati kandidat.

Pemaknaan “Kampanye” dalam penjabaran normatif dirasa menimbulkan multi tafsir sehingga banyak calon dapat memanfatkan sisi lemah dalam sebuah aturan kampanye. Namun jika dilihat dari sisi definisi, maka secara sederhana kampanye dapat dipahami sebagai :
A communication campaigns is an organized communication activity, directed at a particular audience, for a particular period of time, to achieve a particular goal.

Harus diakui bersama bahwa sepanjang perjalanan pemilu di Indonesia aturan tentang kampanye di Media sosial ini tidak diatur, walaupun kemudian kampanye di Media sosial baru menjadi trend pada saat pilpres pertama yakni pada tahun 2004. Sejalan dengan teori hukum bahwasanya aturan diciptakan sebagai bentuk reaksi atas sebuah permasalahan. Dalam pelakasanaan pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota pada tahun 2015 KPU dalam aturannya (PKPU) No. 7 Tahun 2015 mengatur secara eksplisit iklan kampanye di Media Masa yakni dalam pasal 32 ayat (1) butir b KPU memfasilitasi penanyangan iklan kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) pada media massa elektronik, yaitu televisi, radio dan/atau media dalam jaringan (online); Namun yang menjadi pertanyaan besarnya adalah bagaimana pengawasan kampanye di media sosial ini? mengingat media social sulit untuk dibatasi apalagi diawasi setiap pergerakannya.

Sinergisitas Penyelenggara Pemilu dan Kominfo
Dalam pelaksanaannya Pemilu yang demokratis harus mencakupi beberapa aspek penting misalnya netralitas penyelenggara pemilu, transparansi dalam setiap tahapan, peran serta masyarakat serta diperlukannya upaya penyamaan persepsi antar lembaga daerah.

Perdebatan yang muncul kepermukaan ialah berkenaan dengan lembaga/institusi mana yang memiliki kewenangan dalam mengawasi kegiatan kampanye di media sosial. Harus diakui bersama aturan mengenai kampanye di media sosial baru diatur pada tahun 2015, aturan yang baru ini melahirkan konsekuensi logis yakni belum diaturnya mekanisme pengawasan di media sosial oleh Bawaslu. Namun di satu sisi jika melihat kewenagan yang dimiliki oleh Kominfo saat ini yaitu memiliki kewenangan dalam pengawasan “dunia maya” maka tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Bawaslu dapat bersinergi dengan kominfo dalam upaya membatasi kampanye di media sosial (online).

Kampanye di media sosial menjadi pola baru bagi calon kandidat untuk mensosialisasikan diri kepada masyarakat. Seperti apa yang telah diutarakan pada paragrap sebelumnya bahwa kampanye di media sosial tidak terbatas pada waktu dan tidak mengenal isitilah masa tenang, namun dalam konteks menciptakan pemilu yang berkualitas pola kampanye ini harus segera dibatasi melalui mekanisme pengawasan terpadu, salah satunya adalah dengan memitrakan Kominfo dalam upaya mengawasi kampanye di media sosial ini.

Regulasi kampanye di media sosial (Ius constituendum)
Tidak dapat dipungkiri pengaplikasian teknologi saat ini menjadi alternatif baru dalam upaya mempermudahkan kegiatan/aktivitas manusia sebagai makluk sosial. Dalam upaya pengawasan sudah sepatutnya, Bawaslu membuat mekanisme ideal berkenaan dengan metode pengawasan misalanya peserta pemilu wajib mendaftarkan akun resmi (baik pribadi, parpol, dan sebagainya) selama mengikuti tahapan pemilu. Kedua me-release kontain positif tidak mengandung sara atau hal-hal provokatif. Jika memang kedua ketentuan ini dilanggar seyogyanya Bawaslu dapat memberi teguran atau peringatan kepada peserta pemilu.



SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

Solutions for Multiple Interpretation of the Presidential Election Law


Syafri Hariansah S.H. M.H.
Academician/expert team the election supervisory board
Tuesday, 1th July 2015

There was a proverb about democracy and general election which says, “In a democratic society, the poor will have more power than the rich, because there are more of them, and the will of the majority is supreme.” That saying clearly indicates how large is the power of citizen in determining a leader, as explained in some theories of election in Indonesia where the principle of majority support became absolute as a fundamental basis of the local general election.

Referring to the constitutional basis, the law principle of general election implementation in Indonesia had been regulated in article 6A paragraph (1) (2) (3) (4) (5). Besides, regulation on the elected president had also been discussed in article 6A paragraph (3) and (4) of the constitution. Both articles stated that:

(3) The candidate of paired President and Vice President which receives more than fifty per cent of the number of votes in the general election, and receives no less than twenty per cent of the votes in a province in a majority of provinces, shall be appointed as the President and Vice President of the country. ***)

(4) In the event where there is not a pair of President and Vice Presidenti candidate happened to be elected, the people shall directly choose between the two candidate pairs that received the most number of votes in the general election, and the pair that receives the highest number of vote shall be appointed as the President and Vice President of the country. ****)
SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

ASYMMETRY DI NEGARA FEDERASI, FEDERASI DAN NEGARA KESATUAN


JHON MCGARY

Ilmuan politik pertama yang secara resmi membahas asimetri dalam konteks federasi amerika adalah Charles tarlton dalam jurnal politik (tarlton, 1965). Tartlon menunjukan bahwa studi klasik federasi, oleh K.C Wheare dkk, telah memfokuskan hubungan antara pusat federal dan daerah serta berasumsi bahwa wilayah tersebut adalah sama hubungannya dengan pusat maupun yang lain. Selain ity mereka juga beasumsi federasi terdiri atas daerah yang sama. Tartlon menunjukan fakta bahwa daerah federasi telah banyak merubah luas, mencakup ukuran, populasi, bobot dalam institusi federasi, bagian dari alam dan yang berhubungan dengan penelitian, dan budaya dan mereka sangat menyarankan ketidaksamaan atau asimetri dalam hubungannya dengan yang lain dan system seluruhnya. Dalam asimetri, tartlon berpendapat memberikan kenaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan alasannya dari simetri dalam studi klasik.

Hari ini, diskusi tentang asimetri dan federasi tidak mengikuti tarlton. Dalam asimetri federasi sekarang biasanya semua bagian dipahami sebagai garansi konstitusi autonomy. Tapi salah satu bagian yang berbeda, biasanya mempertinggi, level autonomy daripada beristirahat.

Asimetri digunakan untuk mendeskripsikan kasus dimana salah satu bagian adalah daerah yang memiliki autonomi, tetapi sisanya tidak. Otonomi adalah jaminan konstitusi, dan tidak dapat dibatalkan oleh Negara pusat yang berwenang, yang berfederasi. Jika pusat membaatalkan otnomi, maka ada asemetri desentralisasi dalam Negara kesatuan.

Institusi asimetrikal menyusun beberapa alasan yang berbeda. Cina Negara kesatuan,mengijinkan hongkong untuk setuju lebih dengan otonomi dariupada menikmati keistirahatan Negara karena sangat mudah untuk reabsorpsi dan membawa keuntungan ekonomi. Dalam banyak kasus, bagaimanapun, asimetri adalah respon dari adanya perbedaan pluri-nasional. Salah satu gagasan respon dari demand for a distinctive otonomi dari mobilisasi nasional (disini sebagai sebagian Negara atau negara minoritas), atau ketika anggota independent yang didanai oleh pemerintah istimewa dalam mengembalikan keutuhan Negara.contoh dari naskah penyusunan asimetrical dari inggris, dimana skotlandia, wales dan irlandia utara menikmati perbedaan pemerintahan masing-masing tetapi inggris bekas jajahan wetminster. Untuk Indonesia yang telah memberikan aceh otonomi yang luas daripada berdiam diri, dan Malaysia dan india dimana beberapa daerah federal mempunyai autonomy juga.

Dalam tulisan ini, saya menawarkan dukungan untuk otonomi asimetri dalam Negara pokok pluri-nasional untuk menunjukan batasan dari otonomi simetri. Diakhir telah dicatat otonomi asimetri   bukan tanpa kesulitan dan disana ada batasan bagaimana Negara meneruskan sususan asimetri dengan sisa , tetapi bahaya dari asimetri tidak melebihlebihkan.

SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

PUSAT DAN DAERAH : FUNGSI, AKSES DAN DISKRESI


Edward C. Page dan Michael J. Goldsmith

Pada periode pasca perang, studi tentang pemerintah daerah di negara-negara Eropa Barat didominasi oleh dua masalah, yang keduanya mendapat perhatian besar dalam praktik kebijakan praktis pemerintah. Yang pertama adalah masalah reorganisasi, yang dinyatakan dalam hal bagaimana cara 'terbaik' untuk mengatur unit-unit pemerintah daerah dalam rangka menyediakan pelayanan publik. Apakah kriteria terbaik itu melibatkan faktor teknis yang sempit atau faktor politik yang luas atau tidak (Sharpe, 1978; Dearlove, 1979). Pada tahun 1960 dan 1970-an.

Pemerintah mengajukan proposal untuk mengubah ukuran unit pemerintah daerah. beberapa proposal itu sepenuhnya dilaksanakan, seperti di Inggris dan di negara-negara Skandinavia, tetapi di negara-negara lain, seperti Italia dan Perancis, pelaksanaannya lebih bersifat tambal sulam. Mereka juga mengajukan proposal untuk mengubah pola manajemen, seperti struktur manajemen perusahaan, dan sistem perencanaan kebijakan dan keuangan. Seiring dengan perjalanan waktu, banyak literatur akademis yang berhubungan dengan penjelasan kebutuhan perubahan itu dampak perubahannya telah diproduksi  (terakhir, misalnya, dalam  buku Rowat, 1980).

Masalah kedua adalah terkait dengan masalah di atas, tetapi dalam beberapa hal bahkan lebih mendasar. Masalah kedua ini adalah masalah desentralisasi: apa yang seharusnya menjadi kekuatan dan kemampuan pemerintah daerah di negara-negara modern? Sejak terjadinya tekanan fiskal kepada pemerintah daerah pada pertengahan 1970-an, kebijakan pemerintah pusat yang bertujuan untuk mengurangi tingkat hibah kepada pemerintah daerah dan, lebih umum, pengeluaran daerah di beberapa negara, seperti Inggris dan Norwegia, telah menyebabkan pemahaman sentralisasi pemerintah; di negara-negara lain, seperti Italia dan Perancis, tindakan yang bertujuan desentralisasi telah diperkenalkan sebagai bagian dari komitmen pemerintah pusat untuk merestrukturisasi proses pengambilan keputusan dan meningkatkan peran pemerintah daerah di dalam negeri negara tersebut.

Dalam bidang desentralisasi ini, tiga masalah akademik besar telah dikembangkan. Pertama masalah pendokumentasian sifat sistem desentralisasi sejauh pemerintah daerah yang bersangkutan; berapa banyak tindakan dalam pembuatan kebijakan berlangsung di tingkat daerah, atau melibatkan elit politik dan administrasi (pemerintahan) daerah? Tentu saja, studi klasik mengenai masalah-masalah, seperti oleh Griffith (1966) untuk Inggris dan Worms (1966) untuk Perancis, mendahului tekanan fiskal, dan perdebatan terbaru tentang sentralisasi atau desentralisasi. Namun, karya mereka memberikan inspirasi bagi sejumlah studi yang mendeskripsikan pola hubungan pemerintah pusat-daerah di berbagai negara. 

Kedua, ada kekhawatiran dalam mengembangkan sifat yang tepat dan signifikansi dari setiap perubahan hubungan pusat-daerah, seberapa jauh reformasi yang telah diperkenalkan atau diusulkan mengubah pola hubungan tersebut? Misalnya, ada banyak litarur di Perancis, Spanyol dan Italia yang melihat pentingnya regionalisasi sebagai faktor yang mengubah pola tradisional hubungan pusat-daerah (Meny, 1982), dan di Inggris yang mengkaji dampak pembatasan belanja daerah yang dikenakan oleh pemerintah Konservatif  pada tahun 1979 pada konsep-konsep yang lebih tradisional tentang bidang apa saja yang seharusnya melibatkan otonomi daerah (Goldsmith dan Newton, 1984). 
SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

Perkembangan Kota Administratif Daerah Tingkat II

Dalam kunjungan saya ke Mendagri (Kementrian Dalam Negeri) tertanggal 13 Desember lalu, dalam tugas tambahan yang diberikan oleh Prof. Bhenyamin Hoessein tentang perkembangan kota administratif. Saya bertemu dengan salah satu staf Kemendagri, bernama Bu Dian, dalam share singkat kami, beliau menjelaskan permasalah berkenaan dengan Kota Administratif di Indonesia, menurut beliau untuk kondisi saat ini istilah kota administratif sudah tidak ada (tidak dipraktekan lagi), tetapi praktek tentang kota adminstratif ini pernah di praktekan di Indonesia. [1]

Dari beberapa sumber yang saya dapati, Kota administratif didefinisikan sebagai sebuah wilayah administratif di Indonesia yang dipimpin oleh wali kota administratif. Keberadaan kota administratif diatur oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota administratif bukanlah daerah otonom sebagaimana kotamadya atau kota, dan karena itu tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Walikota administratif bertanggung jawab kepada bupati kabupaten induknya. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, di Indonesia tidak dikenal lagi istilah kota administratif karena pembagian provinsi hanya terdiri atas kabupaten dan kota. Akibatnya kota administratif harus berubah status menjadi kota atau bergabung kembali dengan kabupaten induknya.

Dalam Administrasi Negara Indonesia, Kota adalah satuan administrasi negara otonom di bawah provinsi dan di atas kecamatan, selain kabupaten, yang memiliki ciri fisik sebagai suatu perkotaan. Penulisannya selalu dengan huruf besar dan sebaiknya disertai dengan nama penjelas yang mendampinginya (seperti "Kota Semarang") karena Kota adalah suatu nama diri. Pendirian unit ini didasari oleh UU no 22 tentang Pemerintahan Daerah tahun 1999. Satuan administrasi ini sebelumnya dikenal sebagai "Kotamadya".


Kota dipimpin oleh seorang Wali Kota yang didampingi wakil wali kota. Keduanya dipilih secara bersama secara langsung oleh warga Kota tersebut. Kota, di Indonesia, adalah pembagian wilayah administratif setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang wali kota. Dalam konteks Indonesia istilah ini digunakan untuk membedakan dengan kota yang secara administratif di bawah sebuah kabupaten. Kota berkedudukan sejajar dengan kabupaten dan kedudukan wali kotanya sejajar dengan bupati.
SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

Asimetris di Federasi-Federasi Negara, Negara-Negara Federal dan Negara Kesatuan



John McGarry
Queen’s University, Kingston, Ontario
Ilmuwan politik pertama yang secara formal membahas asimetris dalam konteks federasi-federasi adalah seorang berkebangsaan Amerika yaitu Charles Tharlton di dalam “The Journal Politics” (Tarlton,1965). Tarlton menunjukkan bahwa studi klasik mengenai federasi, oleh K.C. Wheare dan lainnya, memiliki relasi yang terfokus antara pusat federasi dan wilayah federasi dan mengira bahwa wilayah federasi masih sama kedudukannya dalam hubungan mereka dengan pusat federasi dan yang lainnya.  Itulah, mereka yang mengira sebuah negara federasi terdiri dari wilayah yang identik. Tarlton menunjukkan bahwa faktanya sebuah wilayah dalam negara federasi bervariasi dengan berbagai cara, termasuk dalam ukuran mereka, populasi dan bobot suatu institusi dalam federasi, berbagi sumber daya alam dan fiskal, dan budaya, bahwa ini menunjukkan adanya ketimpangan yang mendalam dalam hubungan mereka secara asimetris satu sama lainnya dan dengan sistemnya secara keseluruhan. Asimetris ini, Tarlton berargumen, memunculkan berbagai isu yang tidak dapat dipahami melalui premis simetris dalam studi klasik.

Dewasa ini, diskusi mengenai asimetris dan federasi tidak mengikuti “pendekatan Tarlton”. Sebuah federasi asimetris sekarang selalu dipahami sebagai sebuah negara dimana semua daerahnya mempunyai jaminan otonomi menurut konstitusi, tetapi dimana ada setidaknya satu daerah diperlakukan berbeda, biasanya ditingkatkan, level dari otonomi dari yang lain. Asimetris juga digunakan untuk menggambarkan kasus-kasus dimana sedikitnya satu bagian dari negara yang menganut otonomi, tetapi yang lain tidak mengikuti. Jika otonomi ini dijamin oleh konstitusi, dan tidak dapat dibatalkan oleh otoritas pusat negara secara sepihak, maka “federasi” ada dan diakui.  Jika pusat mampu membatalkan sebuah otonomi, maka ada desentralisasi secara asimetris dalam negara kesatuan.

Pengaturan institusional asimetris timbul untuk alasan yang berbeda. China, sebuah negara kesatuan, mengijinkan Hongkong mendapat otonomi yang lebih luas dibandingkan yang diperoleh oleh sebagian daerah lainnya, karena ini akan mendorong penyerapan ulang dan membawa keuntungan bagi ekonomi. Dalam banyak kasus, bagaimanapun, asimetris adalah sebuah respon terhadap eksistensi dari  keanekaragaman bangsa yang plural.  Hal itu bermula baik sebagai tanggapan atas suatu tuntutan terhadap derajat kekhususan dari sebuah otonomi suatu pergerakan kebangsaan (didefinisikan di sini sebagai bangsa tanpa negara atau bangsa “minoritas”), atau ketika sebuah entitas independen secara khusus diberikan keistimewaan berpemerintahan mandiri sebagai imbalan untuk bergabung kembali dengan negara tersebut. Contoh masih adanya bentangan pengaturan asimetris dari United Kingdom (Britania Raya), dimana Skotlandia, Wales, Irlandia Utara semua menerima perbedaan level untuk berpemerintahan mandiri, tapi Inggris masih mengatur melalui Westminster;  juga Indonesia yang telah memberikan Aceh tambahan otonomi lebih dari daerah-daerah lain oleh negara; dan Malaysia dan India, dimana beberapa wilayah federalnya mempunyai kadar otonomi yang lebih dari yang lain.
SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

Tipe Hukum Philippe Nonet dan Philip Selznick

Dalam bukunya Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi ini, pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar untuk men-sejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk kepentingan mereka yang berkuasa. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengakhiri suatu cara berfikir tertentu yang bersifat linier dan matematis, yang dimaksud adalah meletakkan perkembangan dan pembangunan hukum secara linier yang dikemas dalam bentuk “Teori Modernisasi”. Teori tersebut berjaya pada tahun 60-an tetapi mulai surut sejak tahun 70-an. Teori modernisasi secara sederhana mengatakan, bahwa negara-negara berkembang akan mencapai suatu tingkat perkembang hukum yang dinikmati oleh negara-negara maju atau modern asal mau mengikuti jalan yang ditempuh oleh masyarakat maju tersebut. Apabila negara berkembang mampu menghilangkan hambatan-hambatan ke arah modernisasi, maka akan dijamin menjadi negara maju. Jaminan tersebut lebih banyak tidak terbukti dan mulailah teori tersebut ditinggalkan.

Maka dari itu Philippe Nonet dan Philip Selznick mengembangkan model development.  Kelebihan model development Philippe Nonet dan Philip Selznick terletak pada pemahamannya tentang betapa kompleksnya kenyataan antara hukum dan masyarakat. oleh teori modernisasi, realitas yang kompleks telah direduksi menjadi sangat sederhana, sehingga gagal lah teori tersebut membuat ramalan tentang perkembangan hukum dalam masyarakat. Philippe Nonet dan Philip Selznick menyadari kenyataan yang rumit antara hukum dan masyarakatnya. disitulah kelebihan development model mereka. hal tersebut memperkuat keyakinan kita bahwa semakin kokoh suatu teori berpijak pada pada kenyataan semakin besar pula kekuatannya. kendatipun Nonet dan Selznick mengunggulkan tipe hukum yang responsive tetapi itu tetap dipegangnya dengan reserve. keberhasilan hukum responsif akan sangat ditentukan oleh oleh tersedianya modal sosial dalam masyarakat yang bersangkutan. bahkan apabila yang kita inginkan adalah stabilitas, maka kedua penulis itu lebih mengunggulkan tipe hukum yang otonom.

Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu: (1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan refresif, (hukum represif), (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan refresi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan (3) hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif, otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan terjadinya responsivitas yang lebih besar. Karakter masing-masing tipe dapat dilihat seperti tabel Tiga Tipe Hukum di bawah ini:
SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

Text Widget

Text widget

Assalamualaikum selamat datang di blog mungil ini. Semogga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

About Me

Foto Saya
PhD (cand) ankara üniversitesi I independent research | lecturer |Law - ‎Indonesian Election supervisory Board

Followers

Random Posts

Comments

Recent Posts

Live Traffic Feed

CURRENT TIME AND WEATHER ANKARA - TURKEY

My Social Media

Social Icons

Facebook  Twitter  Instagram Yahoo Linkedin

Ads

Popular Posts

Services

Recent Comments

More on this category »

Ads 300 x 250

Ankara Üniversitesi Gölbaşı Yerleşkesi Bahçelievler Mahallesi 319. Sokak Kaymakamlık Arkası 06830 Gölbaşı ANKARA

Recent Comments

About

Pages - Menu

Popular Posts