Tampilkan postingan dengan label opini media. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini media. Tampilkan semua postingan
KAMPANYE DI MEDIA SOSIAL RANAH SIAPA ?
14.42
Syafri Hariansah S.H. M.H.
Academician/expert team the election
supervisory board
Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan
teknologi mempengaruhi setiap lini kehidupan. Distribusi informasi semakin
dirasa efektif cepat dan efesien. Dari data yang dipublish kominfo terdapat
88,1 Juta pengguna internet di Indonesia dan 84% Pengguna internet adalah usia
muda.63 juta penduduk Indonesia sebagai pengguna aktif Facebook, dan 50 Juta
orang sebagai pengguna twitter. Data statistic diatas menunjukan korelasi bahwa
manusia sebagian human being memiliki kecenderungan terhadap teknologi dan
internet. Tanpa disadari perkembangan teknologi dan penggunaan internet
mempengaruhi demokrasi dalam suatu negara. Sebagai contoh gerakan masa di Mesir
yg diinfokan melalui Facebook dan Twitter, dukungan penerapan demokrasi secara
utuh di Hongkong dan fakta terbaru tentang pemanfaatan media sosial oleh calon
anggota Legislatif pada pemilu 2014 serta “duel maya” antara Prabowo-Hatta
dengan Jokowi-Jusuf Kalla dalam mensosialisasikan program mereka kepada voters.
Realitas di atas menjadi sebuah fakta yang
tidak terbantahkan bahwa kampanye di media sosial seperti Facebook, Twitter dan
media social lainnya menjadi sebuah trend baru yang digunakan seseorang untuk
mensosialisasikan diri. Secara sederhana jika dilakukan analisis maka dapat
ditarik beberapa point penting berkenaan dengan kampanye di media sosial. Dari
sisi efektifitas, kampanye di media sosial relatif lebih murah bahkan gratis
dan jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemasangan spanduk atau baliho di
jalan protokol,serta tidak mengenal istilah masa tenang yang secara otomatis
tidak akan ada pengawas pemilu yang akan menertibkan atau memperingati kandidat.
Pemaknaan “Kampanye” dalam penjabaran
normatif dirasa menimbulkan multi tafsir sehingga banyak calon dapat
memanfatkan sisi lemah dalam sebuah aturan kampanye. Namun jika dilihat dari
sisi definisi, maka secara sederhana kampanye dapat dipahami sebagai :
A communication campaigns is an organized
communication activity, directed at a particular audience, for a particular
period of time, to achieve a particular goal.
Harus diakui bersama bahwa sepanjang
perjalanan pemilu di Indonesia aturan tentang kampanye di Media sosial ini
tidak diatur, walaupun kemudian kampanye di Media sosial baru menjadi trend
pada saat pilpres pertama yakni pada tahun 2004. Sejalan dengan teori hukum
bahwasanya aturan diciptakan sebagai bentuk reaksi atas sebuah permasalahan.
Dalam pelakasanaan pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota pada tahun 2015 KPU
dalam aturannya (PKPU) No. 7 Tahun 2015 mengatur secara eksplisit iklan
kampanye di Media Masa yakni dalam pasal 32 ayat (1) butir b KPU memfasilitasi
penanyangan iklan kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) pada
media massa elektronik, yaitu televisi, radio dan/atau media dalam jaringan
(online); Namun yang menjadi pertanyaan besarnya adalah bagaimana pengawasan kampanye
di media sosial ini? mengingat media social sulit untuk dibatasi apalagi
diawasi setiap pergerakannya.
Sinergisitas Penyelenggara Pemilu dan
Kominfo
Dalam pelaksanaannya Pemilu yang demokratis
harus mencakupi beberapa aspek penting misalnya netralitas penyelenggara
pemilu, transparansi dalam setiap tahapan, peran serta masyarakat serta
diperlukannya upaya penyamaan persepsi antar lembaga daerah.
Perdebatan yang muncul kepermukaan ialah
berkenaan dengan lembaga/institusi mana yang memiliki kewenangan dalam
mengawasi kegiatan kampanye di media sosial. Harus diakui bersama aturan
mengenai kampanye di media sosial baru diatur pada tahun 2015, aturan yang baru
ini melahirkan konsekuensi logis yakni belum diaturnya mekanisme pengawasan di
media sosial oleh Bawaslu. Namun di satu sisi jika melihat kewenagan yang
dimiliki oleh Kominfo saat ini yaitu memiliki kewenangan dalam pengawasan
“dunia maya” maka tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, Bawaslu dapat bersinergi dengan kominfo dalam upaya
membatasi kampanye di media sosial (online).
Kampanye di media sosial menjadi pola baru
bagi calon kandidat untuk mensosialisasikan diri kepada masyarakat. Seperti apa
yang telah diutarakan pada paragrap sebelumnya bahwa kampanye di media sosial
tidak terbatas pada waktu dan tidak mengenal isitilah masa tenang, namun dalam
konteks menciptakan pemilu yang berkualitas pola kampanye ini harus segera
dibatasi melalui mekanisme pengawasan terpadu, salah satunya adalah dengan
memitrakan Kominfo dalam upaya mengawasi kampanye di media sosial ini.
Regulasi kampanye di media sosial (Ius
constituendum)
Tidak dapat dipungkiri pengaplikasian
teknologi saat ini menjadi alternatif baru dalam upaya mempermudahkan
kegiatan/aktivitas manusia sebagai makluk sosial. Dalam upaya pengawasan sudah
sepatutnya, Bawaslu membuat mekanisme ideal berkenaan dengan metode pengawasan
misalanya peserta pemilu wajib mendaftarkan akun resmi (baik pribadi, parpol,
dan sebagainya) selama mengikuti tahapan pemilu. Kedua me-release kontain
positif tidak mengandung sara atau hal-hal provokatif. Jika memang kedua
ketentuan ini dilanggar seyogyanya Bawaslu dapat memberi teguran atau
peringatan kepada peserta pemilu.
Solutions for Multiple Interpretation of the Presidential Election Law
09.57Syafri Hariansah S.H. M.H.
Academician/expert team the election supervisory
board
Tuesday, 1th July 2015
There was a
proverb about democracy and general election which says, “In a democratic
society, the poor will have more power than the rich, because there are more of
them, and the will of the majority is supreme.” That saying clearly indicates
how large is the power of citizen in determining a leader, as explained in some
theories of election in Indonesia where the principle of majority support
became absolute as a fundamental basis of the local general election.
Referring to
the constitutional basis, the law principle of general election implementation
in Indonesia had been regulated in article 6A paragraph (1) (2) (3) (4) (5).
Besides, regulation on the elected president had also been discussed in article
6A paragraph (3) and (4) of the constitution. Both articles stated that:
(3) The
candidate of paired President and Vice President which receives more than fifty
per cent of the number of votes in the general election, and receives no less
than twenty per cent of the votes in a province in a majority of provinces,
shall be appointed as the President and Vice President of the country. ***)
(4) In the
event where there is not a pair of President and Vice Presidenti candidate
happened to be elected, the people shall directly choose between the two
candidate pairs that received the most number of votes in the general election,
and the pair that receives the highest number of vote shall be appointed as the
President and Vice President of the country. ****)
Pemilu dan Potensi Krisis Konstitusi di Indonesia
03.50
Kurang lebih skitar 5 bulan yang lalu ketika saya masih
studi di program pasca sarjana judul yg hendak saya pilih dalam rencana tesis
saya adalah potensi krisis konstitusi, ide ini muncul setelah saya membaca
tulisan dari prof yusril ihza mahendra beliau mengatakan bahwa konstitusi kita
saat ini sangat rentan dan memungkinkan terjadinya krisis konstitusi.
Dalam pemahaman negara-negara eropa krisis konstitusi (constitutional
crisis) di definisikan is a situation that the legal system's constitution or
other basic principles of operation appear unable to resolve; it often results
in a breakdown in the orderly operation of goverment.
Often, generally speaking, a constitutional crisis is a situation in which
separate factions within a goverenment disagree
about the extent to which each of these factions hold soverignty.
Most commonly, constitutional crises involve some degree of conflict between
different braches of goverenment
Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila
belum ada norma atau aturan yang mengatur scara eksplisit maupun implisit
tentang suatu permasalahan konstitusi.Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam
karyanya moderen constitution mengatakan bahwa konstitusi merupakan
kumpulan peraturan yang mengatur pemerintahan negara, lebih luas lagi Van
apeldorn mengatakan bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun
tidak tertulis (unwriten). Secara sederhana konstitusi dapat dipahami
sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun tidak) dengan tujuan mengatur
penyelenggaraan pemerintahan negara yang memiliki kedudukan hierarkis tertinggi
dalam sebuah negara. Jika menggunakan pendekatan dari teori ini maka harusnya
konstitusi memuat aturan yang bersifat detil sehingga meminimalisir potensi
terjadinya krisis konstitusi.
Dalam tulisannya prof yusril mendeskripsikan suatu kasus
yang bisa saja menimbulkan krisis konstitusi seperti dlm kasus impeachment (pemakzulan). Didalam
pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan bahwa
“jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis
masa jabatannya.” Sedangkan jika berhalangan tetap scara bersamaan maka
jalannya pemrintahn akan dilaksanakn secara bersama oleh triumvirat (Menteri
dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Permasalahanya adalah, jika presiden dan wakil presiden
brehalagan tetap scara bersamaan dan kemudian mendemisionerkan kabinet (trmsuk
triumvirat) mengingat presiden mempunyai hak prerogratif maka dapat dipastikan
tidak ada yang menjalankan pemerintahan (vacum of power) Kasus yg
seperti ini kemudian dipandang oleh prof yusril sebagai pintu awal terjadinya
krisis konstitusi karena memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian
mengatur permasalahan ini.
FENOMENA CALON LEGISLATIF; Pengabdian atau Jobless Haruskah kita percaya pada Mereka ?
03.49
Permulaan
tahun 2014 di indonesia diwarnai oleh aktivitas politik, even lima tahunan yang
dilaksanakan secara continuitas seolah menandakan bahwa pada tahun ini akan
terjadi perebutan “kekuasaan” baik diranah eksekutif maupun Legislatif. Jika di
tahun 2009 Jumlah Parpol yang ikut dalam pemilu berjumlah 34 parpol maka
ditahun 2014 ini terjadi penurunan menjadi 15 parpol saja. Walaupun demikian yang
menarik dalam pemilu 2014 ini adalah jumlah calon anggota legislatif yang
berjumlah 200.000 orang yang akan memperebutkan 19.000 kursi di parlemen
(detik.com). Angka ini terlihat wajar dan berbanding lurus dengan luas
teritorial Negara Indonesia, tetapi bagi sebagian orang partisipasi politik
seperti ini menimbulkan banyak pertanyaan.
Baik
konstitusi maupun undang-undang kepemiluan secara tegas tidak membatasi warga
negara indonesia untuk terlibat secara langsung dalam proses ini. Ke-16 butir
syarat sebagaimana disebutkan oleh pasal 51 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan umum Anggota DPR,DPD,DPRD, terbilang “longgar”. Jika ke-16 syarat ini
dianalisis satu persatu maka kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa
untuk menjadi caleg di Indonesia tidak memerlukan kriteria khusus, tidak pula
mengharuskan seseorang untuk cedas secara intelektual, teruji secara kapasitas
dan kapabilitas ataupun memiliki intgeritas tinggi.
Celah
diantara syarat ini kemudian melahirkan para calon wakil rakyat dari berbagai
latar belakang yang berbeda satu sama lainnya, dimulai dari tokoh nasional,
politisi, praktisi, ulama, Mahasiswa, (fresh
graduated), ibu rumah tangga, tukang sayur, mantan narapidana, preman,
kalangan seleberitas penyanyi dangdud dan sebagainya. Partisipasi seperti ini
wajib di apresiasi oleh negara yang menjunjung tinggi prinsip demokratis
seperti indonesia tetapi, harus dipahami bahwa masyarakat kita saat ini masih
memandang demokrasi sebagai suatu Tujuan Akhir (main goal) bukan melihat pada prosesnya.
EVALUASI DAN REFLEKSI 4 TAHUN PERJALANAN PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DALAM DEKADE ERA EMAS
03.47
Masyarakat
babel ahkir-ahkir ini mulai mempertanyakan persoalan efektifitas kinerja
pemerintah daerah. Dalam hal ini, di bawah kepemimpinan kepala daerah yang
mengusung semangat era emas,
Persoalan
efektifitas ini sebenarnya patut di pertanyakan oleh publik, sebab apapun
kebijakan yang dijalankan atau diambil pemerintah, maka publik (masyarakat)
berhak tahu atas kebijakan tersebut.
Pertanyaannya,
apakah benar pemerintahan yang megusung semangat era emas ini terbilang gagal
atau sebaliknya? Kemudian apakah ada kolerasi positif persoalan efektifitas
pemerintah daerah babel terhadap perealisasian program kerja kepala daerah,
Upaya
menjawab pertanyaan itu sangatlah penting, sebab efektifitas kinerja kepala
daerah babel harus tetap menjadi prioritas utama demi menyongsong perkembangan
dan kemajuan Propinsi ini,