let's share our experience .
Make Your Dreams Come True.."De Leidster van het verzet"
Tampilkan postingan dengan label opini media. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label opini media. Tampilkan semua postingan

KAMPANYE DI MEDIA SOSIAL RANAH SIAPA ?

Syafri Hariansah S.H. M.H.
Academician/expert team the election supervisory board


Tidak dapat dipungkiri bahwa kemajuan teknologi mempengaruhi setiap lini kehidupan. Distribusi informasi semakin dirasa efektif cepat dan efesien. Dari data yang dipublish kominfo terdapat 88,1 Juta pengguna internet di Indonesia dan 84% Pengguna internet adalah usia muda.63 juta penduduk Indonesia sebagai pengguna aktif Facebook, dan 50 Juta orang sebagai pengguna twitter. Data statistic diatas menunjukan korelasi bahwa manusia sebagian human being memiliki kecenderungan terhadap teknologi dan internet. Tanpa disadari perkembangan teknologi dan penggunaan internet mempengaruhi demokrasi dalam suatu negara. Sebagai contoh gerakan masa di Mesir yg diinfokan melalui Facebook dan Twitter, dukungan penerapan demokrasi secara utuh di Hongkong dan fakta terbaru tentang pemanfaatan media sosial oleh calon anggota Legislatif pada pemilu 2014 serta “duel maya” antara Prabowo-Hatta dengan Jokowi-Jusuf Kalla dalam mensosialisasikan program mereka kepada voters.

Realitas di atas menjadi sebuah fakta yang tidak terbantahkan bahwa kampanye di media sosial seperti Facebook, Twitter dan media social lainnya menjadi sebuah trend baru yang digunakan seseorang untuk mensosialisasikan diri. Secara sederhana jika dilakukan analisis maka dapat ditarik beberapa point penting berkenaan dengan kampanye di media sosial. Dari sisi efektifitas, kampanye di media sosial relatif lebih murah bahkan gratis dan jauh lebih efektif dibandingkan dengan pemasangan spanduk atau baliho di jalan protokol,serta tidak mengenal istilah masa tenang yang secara otomatis tidak akan ada pengawas pemilu yang akan menertibkan atau memperingati kandidat.

Pemaknaan “Kampanye” dalam penjabaran normatif dirasa menimbulkan multi tafsir sehingga banyak calon dapat memanfatkan sisi lemah dalam sebuah aturan kampanye. Namun jika dilihat dari sisi definisi, maka secara sederhana kampanye dapat dipahami sebagai :
A communication campaigns is an organized communication activity, directed at a particular audience, for a particular period of time, to achieve a particular goal.

Harus diakui bersama bahwa sepanjang perjalanan pemilu di Indonesia aturan tentang kampanye di Media sosial ini tidak diatur, walaupun kemudian kampanye di Media sosial baru menjadi trend pada saat pilpres pertama yakni pada tahun 2004. Sejalan dengan teori hukum bahwasanya aturan diciptakan sebagai bentuk reaksi atas sebuah permasalahan. Dalam pelakasanaan pemilihan Gubernur Bupati dan Walikota pada tahun 2015 KPU dalam aturannya (PKPU) No. 7 Tahun 2015 mengatur secara eksplisit iklan kampanye di Media Masa yakni dalam pasal 32 ayat (1) butir b KPU memfasilitasi penanyangan iklan kampanye sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (2) pada media massa elektronik, yaitu televisi, radio dan/atau media dalam jaringan (online); Namun yang menjadi pertanyaan besarnya adalah bagaimana pengawasan kampanye di media sosial ini? mengingat media social sulit untuk dibatasi apalagi diawasi setiap pergerakannya.

Sinergisitas Penyelenggara Pemilu dan Kominfo
Dalam pelaksanaannya Pemilu yang demokratis harus mencakupi beberapa aspek penting misalnya netralitas penyelenggara pemilu, transparansi dalam setiap tahapan, peran serta masyarakat serta diperlukannya upaya penyamaan persepsi antar lembaga daerah.

Perdebatan yang muncul kepermukaan ialah berkenaan dengan lembaga/institusi mana yang memiliki kewenangan dalam mengawasi kegiatan kampanye di media sosial. Harus diakui bersama aturan mengenai kampanye di media sosial baru diatur pada tahun 2015, aturan yang baru ini melahirkan konsekuensi logis yakni belum diaturnya mekanisme pengawasan di media sosial oleh Bawaslu. Namun di satu sisi jika melihat kewenagan yang dimiliki oleh Kominfo saat ini yaitu memiliki kewenangan dalam pengawasan “dunia maya” maka tentunya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, Bawaslu dapat bersinergi dengan kominfo dalam upaya membatasi kampanye di media sosial (online).

Kampanye di media sosial menjadi pola baru bagi calon kandidat untuk mensosialisasikan diri kepada masyarakat. Seperti apa yang telah diutarakan pada paragrap sebelumnya bahwa kampanye di media sosial tidak terbatas pada waktu dan tidak mengenal isitilah masa tenang, namun dalam konteks menciptakan pemilu yang berkualitas pola kampanye ini harus segera dibatasi melalui mekanisme pengawasan terpadu, salah satunya adalah dengan memitrakan Kominfo dalam upaya mengawasi kampanye di media sosial ini.

Regulasi kampanye di media sosial (Ius constituendum)
Tidak dapat dipungkiri pengaplikasian teknologi saat ini menjadi alternatif baru dalam upaya mempermudahkan kegiatan/aktivitas manusia sebagai makluk sosial. Dalam upaya pengawasan sudah sepatutnya, Bawaslu membuat mekanisme ideal berkenaan dengan metode pengawasan misalanya peserta pemilu wajib mendaftarkan akun resmi (baik pribadi, parpol, dan sebagainya) selama mengikuti tahapan pemilu. Kedua me-release kontain positif tidak mengandung sara atau hal-hal provokatif. Jika memang kedua ketentuan ini dilanggar seyogyanya Bawaslu dapat memberi teguran atau peringatan kepada peserta pemilu.



SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

Solutions for Multiple Interpretation of the Presidential Election Law


Syafri Hariansah S.H. M.H.
Academician/expert team the election supervisory board
Tuesday, 1th July 2015

There was a proverb about democracy and general election which says, “In a democratic society, the poor will have more power than the rich, because there are more of them, and the will of the majority is supreme.” That saying clearly indicates how large is the power of citizen in determining a leader, as explained in some theories of election in Indonesia where the principle of majority support became absolute as a fundamental basis of the local general election.

Referring to the constitutional basis, the law principle of general election implementation in Indonesia had been regulated in article 6A paragraph (1) (2) (3) (4) (5). Besides, regulation on the elected president had also been discussed in article 6A paragraph (3) and (4) of the constitution. Both articles stated that:

(3) The candidate of paired President and Vice President which receives more than fifty per cent of the number of votes in the general election, and receives no less than twenty per cent of the votes in a province in a majority of provinces, shall be appointed as the President and Vice President of the country. ***)

(4) In the event where there is not a pair of President and Vice Presidenti candidate happened to be elected, the people shall directly choose between the two candidate pairs that received the most number of votes in the general election, and the pair that receives the highest number of vote shall be appointed as the President and Vice President of the country. ****)
SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

Pemilu dan Potensi Krisis Konstitusi di Indonesia


Kurang lebih skitar 5 bulan yang lalu ketika saya masih studi di program pasca sarjana judul yg hendak saya pilih dalam rencana tesis saya adalah potensi krisis konstitusi, ide ini muncul setelah saya membaca tulisan dari prof yusril ihza mahendra beliau mengatakan bahwa konstitusi kita saat ini sangat rentan dan memungkinkan terjadinya krisis konstitusi.

Dalam pemahaman negara-negara eropa krisis konstitusi (constitutional crisis) di definisikan is a situation that the legal system's constitution or other basic principles of operation appear unable to resolve; it often results in a breakdown in the orderly operation of goverment. Often, generally speaking, a constitutional crisis is a situation in which separate factions within a goverenment disagree about the extent to which each of these factions hold soverignty. Most commonly, constitutional crises involve some degree of conflict between different braches of goverenment 

Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila belum ada norma atau aturan yang mengatur scara eksplisit maupun implisit tentang suatu permasalahan konstitusi.Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam karyanya moderen constitution mengatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan peraturan yang mengatur pemerintahan negara, lebih luas lagi Van apeldorn mengatakan bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun tidak tertulis (unwriten). Secara sederhana konstitusi dapat dipahami sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun tidak) dengan tujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara yang memiliki kedudukan hierarkis tertinggi dalam sebuah negara. Jika menggunakan pendekatan dari teori ini maka harusnya konstitusi memuat aturan yang bersifat detil sehingga meminimalisir potensi terjadinya krisis konstitusi.

Dalam tulisannya prof yusril mendeskripsikan suatu kasus yang bisa saja menimbulkan krisis konstitusi seperti dlm kasus impeachment (pemakzulan). Didalam pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan bahwa “jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya.” Sedangkan jika berhalangan tetap scara bersamaan maka jalannya pemrintahn akan dilaksanakn secara bersama oleh triumvirat (Menteri dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.

Permasalahanya adalah, jika presiden dan wakil presiden brehalagan tetap scara bersamaan dan kemudian mendemisionerkan kabinet (trmsuk triumvirat) mengingat presiden mempunyai hak prerogratif maka dapat dipastikan tidak ada yang menjalankan pemerintahan (vacum of power) Kasus yg seperti ini kemudian dipandang oleh prof yusril sebagai pintu awal terjadinya krisis konstitusi karena memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian mengatur permasalahan ini.

SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

FENOMENA CALON LEGISLATIF; Pengabdian atau Jobless Haruskah kita percaya pada Mereka ?



Permulaan tahun 2014 di indonesia diwarnai oleh aktivitas politik, even lima tahunan yang dilaksanakan secara continuitas seolah menandakan bahwa pada tahun ini akan terjadi perebutan “kekuasaan” baik diranah eksekutif maupun Legislatif. Jika di tahun 2009 Jumlah Parpol yang ikut dalam pemilu berjumlah 34 parpol maka ditahun 2014 ini terjadi penurunan menjadi 15 parpol saja. Walaupun demikian yang menarik dalam pemilu 2014 ini adalah jumlah calon anggota legislatif yang berjumlah 200.000 orang yang akan memperebutkan 19.000 kursi di parlemen (detik.com). Angka ini terlihat wajar dan berbanding lurus dengan luas teritorial Negara Indonesia, tetapi bagi sebagian orang partisipasi politik seperti ini menimbulkan banyak pertanyaan.
Baik konstitusi maupun undang-undang kepemiluan secara tegas tidak membatasi warga negara indonesia untuk terlibat secara langsung dalam proses ini. Ke-16 butir syarat sebagaimana disebutkan oleh pasal 51 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan umum Anggota DPR,DPD,DPRD, terbilang “longgar”. Jika ke-16 syarat ini dianalisis satu persatu maka kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa untuk menjadi caleg di Indonesia tidak memerlukan kriteria khusus, tidak pula mengharuskan seseorang untuk cedas secara intelektual, teruji secara kapasitas dan kapabilitas ataupun memiliki intgeritas tinggi.
Celah diantara syarat ini kemudian melahirkan para calon wakil rakyat dari berbagai latar belakang yang berbeda satu sama lainnya, dimulai dari tokoh nasional, politisi, praktisi, ulama, Mahasiswa, (fresh graduated), ibu rumah tangga, tukang sayur, mantan narapidana, preman, kalangan seleberitas penyanyi dangdud dan sebagainya. Partisipasi seperti ini wajib di apresiasi oleh negara yang menjunjung tinggi prinsip demokratis seperti indonesia tetapi, harus dipahami bahwa masyarakat kita saat ini masih memandang demokrasi sebagai suatu Tujuan Akhir (main goal) bukan melihat pada prosesnya. 

SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

EVALUASI DAN REFLEKSI 4 TAHUN PERJALANAN PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DALAM DEKADE ERA EMAS


Masyarakat babel ahkir-ahkir ini mulai mempertanyakan persoalan efektifitas kinerja pemerintah daerah. Dalam hal ini, di bawah kepemimpinan kepala daerah yang mengusung semangat era emas,

Persoalan efektifitas ini sebenarnya patut di pertanyakan oleh publik, sebab apapun kebijakan yang dijalankan atau diambil pemerintah, maka publik (masyarakat) berhak tahu atas kebijakan tersebut.

Pertanyaannya, apakah benar pemerintahan yang megusung semangat era emas ini terbilang gagal atau sebaliknya? Kemudian apakah ada kolerasi positif persoalan efektifitas pemerintah daerah babel terhadap perealisasian program kerja kepala daerah,
Upaya menjawab pertanyaan itu sangatlah penting, sebab efektifitas kinerja kepala daerah babel harus tetap menjadi prioritas utama demi menyongsong perkembangan dan kemajuan Propinsi ini,

SYAFRI HARIANSAH SYAFRI HARIANSAH Author

Text Widget

Text widget

Assalamualaikum selamat datang di blog mungil ini. Semogga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kita semua.

About Me

Foto Saya
PhD (cand) ankara üniversitesi I independent research | lecturer |Law - ‎Indonesian Election supervisory Board

Followers

Random Posts

Comments

Recent Posts

Live Traffic Feed

CURRENT TIME AND WEATHER ANKARA - TURKEY

My Social Media

Social Icons

Facebook  Twitter  Instagram Yahoo Linkedin

Ads

Popular Posts

Services

Recent Comments

More on this category »

Ads 300 x 250

Ankara Üniversitesi Gölbaşı Yerleşkesi Bahçelievler Mahallesi 319. Sokak Kaymakamlık Arkası 06830 Gölbaşı ANKARA

Recent Comments

About

Pages - Menu

Popular Posts