PUSAT DAN DAERAH : FUNGSI, AKSES DAN DISKRESI
03.57Edward C. Page dan Michael J. Goldsmith
Pada periode pasca perang,
studi tentang pemerintah daerah di negara-negara Eropa Barat
didominasi oleh dua masalah, yang keduanya mendapat
perhatian besar dalam praktik kebijakan praktis pemerintah. Yang pertama adalah masalah reorganisasi, yang dinyatakan
dalam hal bagaimana cara 'terbaik' untuk mengatur unit-unit
pemerintah daerah dalam rangka menyediakan pelayanan publik. Apakah kriteria
terbaik itu melibatkan faktor teknis yang
sempit atau faktor politik yang luas atau tidak (Sharpe, 1978;
Dearlove, 1979). Pada tahun 1960 dan 1970-an.
Pemerintah mengajukan proposal untuk
mengubah ukuran unit pemerintah daerah. beberapa
proposal itu sepenuhnya dilaksanakan, seperti di Inggris
dan di negara-negara Skandinavia, tetapi di negara-negara lain,
seperti Italia dan Perancis, pelaksanaannya lebih bersifat tambal
sulam. Mereka juga mengajukan proposal untuk mengubah pola manajemen, seperti
struktur manajemen perusahaan, dan sistem perencanaan
kebijakan dan keuangan. Seiring dengan perjalanan
waktu, banyak literatur akademis yang berhubungan
dengan penjelasan kebutuhan perubahan itu dampak perubahannya telah diproduksi (terakhir, misalnya, dalam buku Rowat,
1980).
Masalah kedua adalah terkait dengan
masalah di atas, tetapi dalam beberapa hal bahkan lebih mendasar. Masalah
kedua ini adalah masalah desentralisasi: apa yang seharusnya
menjadi kekuatan dan kemampuan pemerintah daerah di negara-negara modern? Sejak
terjadinya tekanan fiskal kepada pemerintah daerah pada
pertengahan 1970-an, kebijakan pemerintah pusat yang bertujuan untuk mengurangi
tingkat hibah kepada pemerintah daerah dan, lebih umum, pengeluaran daerah di
beberapa negara, seperti Inggris dan Norwegia, telah
menyebabkan pemahaman sentralisasi pemerintah; di negara-negara lain,
seperti Italia dan Perancis, tindakan yang bertujuan desentralisasi telah
diperkenalkan sebagai bagian dari komitmen pemerintah pusat untuk merestrukturisasi
proses pengambilan keputusan dan meningkatkan peran pemerintah daerah di
dalam negeri negara tersebut.
Dalam bidang desentralisasi ini, tiga
masalah akademik besar telah dikembangkan. Pertama masalah
pendokumentasian sifat sistem desentralisasi sejauh pemerintah daerah yang
bersangkutan; berapa banyak tindakan dalam pembuatan kebijakan berlangsung di
tingkat daerah, atau melibatkan elit politik dan
administrasi (pemerintahan) daerah? Tentu saja, studi
klasik mengenai masalah-masalah, seperti oleh Griffith
(1966) untuk Inggris dan Worms (1966) untuk Perancis,
mendahului tekanan fiskal, dan perdebatan terbaru tentang
sentralisasi atau desentralisasi. Namun, karya mereka memberikan
inspirasi bagi sejumlah studi yang mendeskripsikan pola hubungan pemerintah
pusat-daerah di berbagai negara.
Kedua, ada kekhawatiran dalam
mengembangkan sifat yang tepat dan signifikansi dari setiap perubahan
hubungan pusat-daerah, seberapa jauh reformasi yang telah
diperkenalkan atau diusulkan mengubah pola hubungan tersebut?
Misalnya, ada banyak litarur di Perancis, Spanyol dan Italia
yang melihat pentingnya regionalisasi sebagai
faktor yang mengubah pola tradisional hubungan pusat-daerah (Meny,
1982), dan di Inggris yang mengkaji dampak pembatasan belanja daerah
yang dikenakan oleh pemerintah Konservatif pada tahun 1979 pada
konsep-konsep yang lebih tradisional tentang bidang apa saja
yang seharusnya melibatkan otonomi daerah (Goldsmith dan Newton,
1984).
Ketiga, ada kekhawatiran (konsern)
mengenai penjelasan pola hubungan pusat-daerah: apa sebenarnya
hubungan pusat daerah itu, dan mengapa hubungan itu diubah? Misalnya,
pola yang mungkin merupakan hasil dari sifat yang melekat
pada pelayanan perkotaan, seperti yang disarankan oleh tesis 'negara
ganda/dual state' (Saunders, 1984), atau dari budaya nasional
partai-partai politik (Becquart-Leclercq, 1976, Bulpitt, 1983). Perubahan
hubungan pusat-daerah dapat diakibtkan dari 'krisis fiskal'
negara-negara modern (Boddy, 1984), atau dari komitmen ideologis
lama keapda desentrasliasi yang ditemukan di dalam partai politik.
Masing-masing dari ketiga
masalah ini- sifat dari sistem yang ada, jenis dan arah perubahan,
dan penyebab pola dan perubahan yang berbeda - secara inheren adalah
bersifat perbandingan (komparatif). Untuk dua masalah yang
pertama, dalam menjelaskan pola menonjol dan perubahannya, kita
membutuhkan konseptualisasi tentang bagaimana sesuatu menjadi berbeda
jika faktor yang dianggap penting tidak ada (absen).
Perbandingan tersebut dapat berbentuk (sering implisit) hipotesis kontrafaktual
(tentang bagaimana /apa sistem itu bentuknya seperti tanpa
doktrin ultra vires atau cumul des mandats), atau
perbandingan dengan organisasi lain dalam negara, seperti quango atau lembaga
pelayanan kesehatan. Atau, perbandingan itu bersifat lintas negara
(crossnational). Perbandingan crossnational hanya satu strategi, meskipun
penting, untuk memilih fitur yang menonjol dari hubungan pusat-daerah dalam
satu negara. Penjelasan yang memang ada biasanya mengacu pada
kekuatan sosial ekonomi dan politik yang luas yang membentuk struktur
dan hubungan pemerintah daerah yang pada prinsipnya dapat berlaku
dan dapat diuji dalam konteks perbandingan crossnational. Penjelasan
yang meyakinkan bagi munculnya pola tertentu hubungan pemerintah pusat-daerah
di suatu negara harus mampu menjelaskan mengapa pola yang identik itu
ditemukan atau tidak ditemukan di negara lain.
Tapi sebelum kita dapat menggambarkan dan
menjelaskan perbedaan pola hubungan pemerintah pusat-daerah, kita perlu
menentukan ciri (fitur) apa yang
menonjol yang harus dideskripsikan dan dijelaskan. Ini
adalah klise tapi benar untuk mengatakan bahwa kebanyakan studi hubungan pusat-daerah
berkaitan dengan sejauh mana unit pemerintah daerah dapat membentuk cara di
mana imbalan (benefit) dan sanksi yang
diberikan pemerintahan modern kepada warganya.
Bila pengaruh daerah ternyata luas, maka pemerintah
sering didesak untuk menjadi lebih terdesentralisasi
daripada bila pengaruhnya lebih terbatas. Memang, merupakan hal
yang bersifat konvensional bagi deskripsi crossnational untuk
menggunakan istilah-istilah seperti 'sentralisasi', 'desentralisasi',
'kontrol pusat "dan' otonomi daerah '. Istilah-istilah ini tentu
berguna dalam sejumlah besar konteks, namun mereka
tidak dengan sendirinya memberikan konsep yang
memadai untuk menjadi dasar analisis komparatif. Bisa
diklaim, dengan beberapa alasan, bahwa sistem Prancis
lebih terdesentralisasi daripada Inggris dengan alasan bahwa pemerintah
daerah di Perancis. Namun, bisa juga diklaim, dengan
pembenaran (justifikasi) yang sama, bahwa Inggris adalah
lebih tersentralisasi karena oposisi politik
daerah terhadap usulan pemerintah pusat di Perancis jauh lebih kuat
dan efektif daripada di Inggris, seperti yang terlihat selama proses
reorganisasi pemerintah daerah pada 1960-an dan 1970-an (Ashford, 1982) .
Masalah dengan istilah-istilah ini
adalah bukan karena istilah-istilah itu salah, melainkan
bahwa istilah-istilah itu tidak menjelaskan aspek apa
dari proses pemerintahan yang bersifat 'desentralisasi'.
Akibatnya, ketika istilah tersebut digunakan, maka menjadi relatif
mudah bagi studi tentang hubungan pemerintah pusat-daerah
di berbagai negara untuk membicarakan masa lalu satu sama lain. Dalam
rangka untuk membuat perbandingan yang valid, maka perlu memiliki kerangka
kerja untuk perbandingan yang menghilangkan ambiguitas terminologi yang
ada, tapi tetap relatif komprehensif dengan
menjelaskan berbagai aspek hubungan pusat-daerah, yang nilai pentingnya
telah ditunjukkan dalam sejumlah perbandingan satu dan
dua-negara.
Hal ini dimungkinkan untuk membedakan tiga
dimensi luas yang dapat digunakan untuk mengevaluasi posisi lembaga pemerintah
daerah di negara modern, fungsi, akses dan diskresi (diskresi) pemerintah
daerah. Dalam buku ini, penulis menawarkan deskripsi hubungan pusat-daerah di
tujuh negara kesatuan Eropa Barat - Inggris, Denmark, Perancis, Italia,
Norwegia, Spanyol, Swedia - pada tiga dimensi ini. Negara-negara Eropa telah
diambil sebagai fokus karena mereka memiliki kesamaan warisan dan
pengalaman sejauh berkenaan dengan pemerintah daerah (Hintze, 1962).
Negara kesatuan ini telah dipilih karena, pada tahap awal dalam
membuat (generasi) deskripsi komparatif dan teori hubungan pemerintah daerah-pusat,
struktur federal memperkenalkan tingkat kompleksitas yang kita tidak ingin
hadapi.
Mengapa tiga dimensi fungsi, akses dan
diskresi menjadi penting sebagai sarana untuk
menyusun analisis kami? Ada dua alasan utama. Pertama,
dalam hal menggambarkan ruang lingkup untuk pengaruh daerah dalam penyediaan
pelayanan negara mereka menawarkan pendekatan logis dalam tiga bentuk
pengaruh, meskipun mekanisme yang tepat di mana pengaruh daerah dihasilkan
dalam judul-judul ini adalah banyak. Peran yang
dimainkan pemerintah daerah dalam membentuk pelayanan
negara merupakan suatu fungsi dari tugas yang harus
ia laksanakan - seberapa jauh ia dapat membuat keputusan sendiri tentang
bagaimana melaksanakan tugas dan seberapa jauh ia dapat membentuk
proses utama dari pengambilan
keputusan di pusat. Proses ini tidak hanya mendefinisikan tugas
daerah dan diskresi otoritas daerah yang diperbolehkan,
tetapi juga mengalokasikan sumber daya penting, seperti uang dan otorisasi
legal, untuk memungkinkan mereka melaksanakan fungsinya. Selain itu,
seperti yang akan ditunjukan di bagian belakang nanti, ketiga
pembagian itu sesuai dengan perbedaan laten yang hadir dalam
banyak literatur tentang hubungan pusat-daerah. Kedua, pembagian ini
menunjukkan bahwa banyak bagian yang berbeda dari literatur ilmu
politik harus dieksplorasi untuk menjelaskan tiga dimensi hubungan
pusat-daerah.
Fungsi, akses, diskresi dan pengaruh daerah
dalam sistem politik modern
Ada variasi yang jelas dalam pentingnya
pemerintah daerah sebagai penyedia
jasa secara crossnational; dalam beberapa sistem, ia memiliki
fungsi yang lebih banyak dari yang lain. Di beberapa
negara, seperti Selandia Baru, pemerintah daerah sangat kecil dan
karena itu hanya membuat dampak keseluruhan yang sedikit
pada sifat pelayanan publik, sementara di negara lain, seperti
Denmark, banyak pelayanan, termasuk urusan program pemeliharaan
pendapatan (income maintenance, yakni program pemerintah yang menyediakan
bantuan kepada masyarakat yang membutuhkan sehingga mereka mampu memelihara/menjaga
tingkat pendapatan tertentu), merupakan bagian
dari tanggung pemerintah daerah (Bowman dan Hampton, 1983;
Skovsgaard, 1984). Di negara-negara Skandinavia, banyak pelayanan
publik penting berada di tangan pemerintah daerah, termasuk perawatan
kesehatan, kecuali pelayanan polisi: hal sebaliknya berlaku di
Inggris. Kemampuan untuk membentuk imbalan (benefit) dan
sanksi negara adalah, secara ceteris
paribus, adalah lebih besar/luas di mana
berbagai pelayanan yang dipenuhi oleh pemerintah daerah adaah lebih
luas. Variasi dalam berbagai fungsi, tentu saja, dapat ditemukan dalam
satu negara, seperti di Amerika Serikat, di mana struktur dan
fungsi pemerintah daerah sangat beragam dan kaya; di
Inggris, fungsi pemerintah daerah dalam Irlandia Utara sangat berbeda
dari fungsi pemerintahan di bagian lainnya (Birrell dan Murie, 1980).
Hal ini penting untuk berhati-hati dalam
membandingkan fungsi pemerintah daerah secara lintas negara
(crossnation) karena dua alasan utama. Pertama, pelayanan bervariasi
dalam hal sifat, cara penyampaian (delivery) dan deskripsi
nominalnya. Misalnya, bantuan perumahan publik di Prancis terutama terdiri
dari pinjaman murah untuk agen perumahan (HLM - Habitation £ Loyer modere)
daripada subsidi publik langsung ke sektor sewa kota (council rental
sector), seperti di Inggris. Di Perancis,
waralaba yang dikeluarkan oleh otoritas
daerah kepada perusahaan
swasta seringkali digunakan untuk memberikan layanan
seperti pengumpulan dan pembuangan sampah, yang bertentangan
dengan ketentuan tenaga kerja langsung atau kontrak umum di Inggris
dan Skandinavia. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan layanan
publik secara crossnational bisa merujuk ke kegiatan yang berbeda:
misalnya, pembangunan industri di Inggris merujuk terutama untuk promosi
melalui publisitas, sedangkan di Italia dan Spanyol, otoritas
pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang jauh lebih luas
untuk memberikan pinjaman murah dan subsidi. Alasan kedua untuk
berhati-hati dalam membandingkan fungsi secara crossnational berasal
dari fakta bahwa cara bagaimana fungsi-fungsi
itu dialokasikan ternya bervariasi secara crossnation.
Di Spanyol, Italia dan Perancis, ada relatif sedikit di
mana pemerintah daerah memiliki tanggung jawab eksklusif, dengan
kementerian pusat memiliki kontrol langsung atau direktif
terhadap beberapa layanan, sementara di Inggris dan negara-negara
Skandinavia kementerian pusat tidak mempunyai hubungan dengan
pelaksanaan kebijakan. Sebagai contoh, dalam pendidikan pemerinta kota
(komune) Perancis dan Italia memiliki beberapa gedung sekolah dan
fungsi pemeliharaan, tapi tidak mempunyai hak eksklusif untuk
menentukan lokasi sekolah atau standar pemeliharaan.
Agar pemerintah
daerah bisa 'memiliki' atau 'memenuhi' pelayanan, atau bagian
daripadanya, kurang lebih berarti pemerintah daerah
memiliki tanggung jawab formal untuk mempekerjakan orang untuk melaksanakannya.
Ini tidak berarti bahwa mereka dapat mempengaruhi cara di
mana pelayanan itu dilakukan karena mereka mungkin memiliki sedikit
kewenangan untuk melakukannya. Sebagai contoh, otoritas daerah di Inggris
memiliki tanggung jawab untuk mengelola pembayaran pemeliharaan pendapatan
dalam bentuk tunjangan (benefit) perumahan, namun sebagian besar
mereka dapat mempengaruhi distribusi tunjangan ini secara marjinal,
karena benefit itu diberikan sesuai dengan peraturan nasional
(Erskine, 1984 ). Akibatnya, tidak cukup untuk melihat pada apa yang
pemerintah daerah lakukan. Meskipun skala tanggung jawab pemerintah
daerah, relatif terhadap tanggung jawab pemerintah pusat, menjadi indikator yang banyak
digemari mengenai sentralisasi dan
desentralisasi di antara kalangan beberapa ekonom dan
ilmuwan politik (King, 1984; Ashford, 1979), hal ini jelas tidak memadai karena
kemampuan untuk membuat keputusan yang signifikan yang mempengaruhi suatu fungsi
tidak identik dengan tanggung jawab formalnya. Untuk memeriksa sejauh mana
pemerintah daerah dapat membentuk atau menentukan layanan negara
modern, maka perlu melampaui pemeriksaan tanggung jawab
formal guna melihat tingkat diskresi yang ia miliki dalam
melaksanakan fungsi tersebut. Diskresi mengacu pada kemampuan
aktor di dalam pemerintah daerah untuk membuat keputusan tentang
jenis dan tingkat pelayanan yang ia berikan dalam kerangka hukum
dan administratif formal untuk penyampaian (delivery) pelayanan daerah,
dan tentang bagaimana pelayanan itu diberikan / disediakan dan dibiayai. Setidaknya ada empat
komponen dari jenis diskresi ini.
Pertama, diskresi dapat secara signifikan
berhubungan dengan kerangka hukum umum dari pemerintah daerah. Secara
khusus, ada perbedaan, yang dibahas oleh Smith (1985:87), antara
negara-negara ini- termasuk Skandinavia - di mana ada anggapan bahwa
pemerintah daerah memiliki kompetensi umum untuk melakukan pelayanan,
dan negera-nengara di
mana pemerintah daerah diwajibkan untuk menemukan beberapa
bentuk dasar hukum khusus bagi tindakannya, seperti yang tersirat
dalam doktrin ultra vires di Inggris. Prinsip hukum umum lain yang
mungkin adalah prinsip konsentrasi kekuasaan pengawasan di
tangan pejabat pusat yang
bertanggung jawab untuk pengawasaan atas sekelompok otoritas pemerintah
daerah yang telah ditetapkan, seperti kasus prefek di Perancis sebelum
tahun 1982, yang kontras dengan tidak adanya pemegang kekuasaan pengawasan
formal di Inggris, dan pentingnya pengadilan administratif khusus dan prosedur
pengaduan yang dapat membatasi kekuasaan pemerintah daerah di negara-negara
Skandinavia.
Kedua, evaluasi keseluruhan dari diskresi
pemerintah daerah mungkin merupakan fungsi dari tingkat diskresi yang dimiliki pemerintah
daerah dalam sejumlah pelayanan daerah tertentu. Misalnya, diskresi
yang membedakan antara pelayanan yang diamanatkan, seperti
pendidikan di Inggris dan Skandinavia, atau gedung sekolah di Perancis dan
Italia, dan diskresi berdasarkan pemberian kekuasaan
permisif yang luas, termasuk pelayanan rekreasi dan budaya di
sebagian besar negara. Mungkin yang lebih penting, diskresi dalam setiap
pelayanan satu dapat dibatasi oleh standar pemberian penyediaan
pelayanan yang ditentukan (misalnya, perawatan pendapatan di Inggris dan
Skandinavia), atau standar pelayanan mungkin didefinisikan secara longgar
sehingga hampir tidak memberikan kendala pada tindakan pemerintah daerah
(misalnya, pejabat perlindungan konsumen di Inggris harus menegakkan peraturan
nasional, tetapi mereka melakukannya dengan cara yang berbeda secara
lokal).
Ketiga, diskresi pemerintah daerah
dapat dibatasi oleh bentuk pengaruh non-legal; di beberapa negara,
saran pemerintah - seringkali dalam bentuk surat edaran -
dapat menyandang status sehingga menjadi
pengganti bagi bentuk pengaruh yang legal/hukum. Ini mungkin
karena saran pemerintah sentral dianggap patut dicatat
karena saran itu dianggap merupakan bentuk keahlian
teknis yang unggul yang ditemukan di pemerintah pusat,
karena saran itu punya kekuatan hukum dengan diterima
sebagai interpretasi hukum yang mengikat, atau karena potensi
ketidakpatuhan tidak diancam dengan ancaman sanksi hukum
atau keuangan. Kepatuhan melalui anggapan keahlian yang unggul sangat
penting karena menawarkan kemungkinan lebih besar bagi pengaruh rutin
tanpa tantangan terbuka melalui pengadilan atau pembangkangan langsung. Dalam
beberapa negara, seperti Inggris, para profesional pemerintah daerah
telah memperoleh status relatif tinggi sebagai sumber nasihat ahli.
Di bidang-bidang seperti jalan dan transportasi umum, keahlian daerah
telah berpengaruh dalam membentuk kebijakan pusat, meskipun
di bidang lain, seperti perumahan dan liburan, para profesional
pemerintah daerah sudah kurang penting (lihat Dunleavy, 1981a, 1981b,
Goldsmith, 1983). Di Perancis, di sisi lain, birokrat pemerintah pusat masih
mengklaim monopoli keahlian, terutama di bidang pelayanan
teknis yang didominasi oleh Grands Corps of the Font et
Chaussées (Thoenig, 1973).
Keempat, diskresi pemerintah daerah
dapat mencerminkan diskresi keuangan. Keputusan pemerintah pusat di
semua negara Eropa bertanggung jawab atas sebagian besar
pendapatan daerah, dalam bentuk hibah atau pendapatan (assigned revenues).
Di beberapa negara, seperti Belanda, pemerintah pusat menentukan hampir secara
eksklusif tingkat pendapatan pemerintah daerah, sementara
di negara lain terdapat tingkat diskresi yang lebih besar
atau lebih kecil dalam meningkatkan pendapatan asli daerah. Pemeriksaan
diskresi keuangan akan mencakup deskripsi sejauh mana sistem pajak, termasuk
dasar pajak dan tarif pajak, dan modal dan tingkat pengeluaran saat ini, serta
biaya dan pungutan daerah, dibentuk/ditentukan oleh keputusan
pemerintah pusat. Pemeriksaan diskresi ini juga mencakup sejauh mana
pengeluaran pada pelayanan tertentu dibatasi karena hibah diperuntukkan dalam
bentuk yang spesifik dan kondisional, sebagai lawan dari
bantuan pendapatan hibah bersama untuk pelayanan yang tidak
spesifik.
Akses pemerintah daerah mengacu pada sifat
kontak antara aktor pemerintah pusat dan daerah. Pemerintah daerah memiliki
diskresi yang terbatas, yang tunduk pada kendala utama dalam bentuk
undang-undang, saran, hibah dan sebagainya. Namun demikian,
jika aktor daerah itu sendiri memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap keputusan pusat, maka mereka memiliki
ruang lingkup yang lebih besar untuk menentukan pelayanan
negara daripada jika keputusan pusat itu merupakan produk dari
interaksi antara para politisi non-lokal, birokrat dan kelompok - yang
menggambarkan banyak pembuatan kebijakan pusat di negara-negara Barat
(Richardson, 1982) - yang mengecualikan mereka.
Di beberapa negara, seperti Italia dan
Perancis, kontak antara pemerintah pusat dan daerah sering dilakukan atas
dasar rapat tatap muka antara anggota individu otoritas daerah,
dan para politisi dan pejabat di pemerintah pusat. Di
Perancis, bentuk kontak tatap muka lebih lanjut didukung (tapi tidak, tentu
saja, selalu disebabkan) oleh cumul des mandats, akumulasi jabatan/kantor
melalui mana para walikota dari kota yang didominasi kota besar memperoleh jabatan / kantor nasional dan menggunakannya
untuk menghasilkan manfaat (benefit) bagi pemerintah (commune) mereka sendiri.
Kontak face-to-face ini kontras dengan posisi /jabatan di
Inggris, di mana kontak antara aktor pemerintah pusat dan daerah sebagian besar
tidak bersifat langsung (Griffith, 1966), dengan asosiasi
nasional para anggota dewan yang dipilih
dan para pejabat yang tidak dipilih yang merupakan saluran
utama di mana melalui saluran
itu pemerintah pusat mempertahankan kontak pada isu-isu
yang berada di luar persetujuan hukum untuk proposal modal individu.
Ada dua masalah (pertanyaan) yang
luas dan saling terkait yang harus dieksplorasi dalam konteks pola
akses antara aktor pemerintah pusat dan daerah. Pertama, seberapa sering dan
penting adalah bentuk akses langsung itu dibandingkan dengan
bentuk akses tidak langsung? Kedua, apakah pola-pola
akses ini memberikan aktor pemerintah daerah akses istimewa ke proses
pengambilan keputusan pemerintah pusat? Jawaban atas
pertanyaan pertama memberitahu kita sesuatu tentang sifat pengaruh
daerah di pusat: bentuk akses tidak langsung tidak mungkin
dapat mengekspresikan preferensi masing-masing otoritas pemerintah
daerah. Apa yang akan diambil di pusat adalah isu-isu
yang mana ada kesepakatan yang cukup dalam asosiasi nasional di mana
pola-pola akses tidak langsung disalurkan.
Untuk masing-masing pemerintah
daerah, ini menawarkan sedikit lingkup bagi pengaruh
pada hal-hal yang berhubungan dengan secara lebih spesifik, dan
dengan demikian saluran akses sampai batas tertentu membatasi jenis isu di
mana pemerintah daerah dapat mempengaruhi pusat. Jawaban
untuk pertanyaan kedua berhubungan langsung dengan pusat
perhatian analisis komparatif:
Jawaban ini menentukan seberapa jauh
aktor pemerintah pusat memberikan perhatian kepada pandangan dan
representasi para aktor pemerintah daerah,
baik yang disalurkan melalui bentuk akses langsung maupun tidak
langsung. Atas dasar pengalaman Amerika dan Perancis (Haider, 1974;
Becquart-Leclercq, 1976), kita mengharapkan bentuk akses langsung
untuk menawarkan lingkup yang lebih besar bagi bentuk
akses yang istimewa, paling tidak karena arena kelompok kepentingan
nasional adalahg sangat kompetitif. Asosiasi pemerintah
daerah dari para wakil yang terpilih adalah tidak
khusus
sebagaimana kelompok-kelompok spesifik fungsional lainnya,
dan keahlian mereka kemungkinan akan dibagikan, jika tidak
dibayangi oleh keahlian lain, seringkali kehalian dari
asosiasi profesional seperti pejabat keuangan, perencana, arsitek
atau pengacara ( lihat Dunleavy, 198la, 1981b).
Akibatnya, kita dapat memperkirakan
asosiasi otoritas lokal spesifik yang non funci menjadi berada
pada posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan kelompok-kelompok
kepentingan yang berbasis fungsional.
Penggunaan kerangka
Kami telah menetapkan kategori fungsi, akses
dan diskresi sebagai sarana membedakan tiga cara utama di mana pemerintah
daerah dapat mempengaruhi penyediaan pelayanan negara, dan
diuraikan dalam sejumlah variasi tiga dimensi. Namun apa keuntungan
dalam membuat perbedaan antara fungsi, akses dan diskresi semacam ini?
Yang pertama sudah disinggung, hal itu memfasilitasi deskripsi
komparatif yang lebih memadai mengenai hubungan antara pemerintah
pusat dan daerah secara crossnation daripada di bawah penggunaan
sederhana istilah-istilah seperti 'sentralisasi' dan 'desentralisasi', atau
istilah yang dirancang untuk perbandingan dua-negara, seperti
'dogmatisme' dan 'pragmatisme', namun tidak dapat diterapkan lebih
jauh (Ashford, 1982). Tiga dimensi yang digunakan di sini memungkinkan
seseorang untuk mencari perbedaan yang menonjol dalam hubungan
pemerintah pusat-daerah dengan lebih presisi daripada menggunakan istilah (terminologi) yang
ada, dan untuk menghindari problem analisis atas
berbagai negara yang berbeda yang berkonsentrasi pada fitur yang
berbeda mengenai hubungan tersebut dan karena
itu membicarakan masa lalu satu sama lain. Deskripsi komparatif,
meskipun dalam skala relatif besar, merupakan tujuan yang sederhana,
namun deskripsi yang sebagian besar menjauhkan siswa dari
hubungan pusat-daerah.
Kerangka kerja tersebut oleh karena
itu digunakan dalam buku ini sebagai sarana penentuan perbedaan dalam
hubungan pemerintah pusat-daerah di tujuh negara itu.
Pemilihan negara sebagian ditentukan oleh ketersediaan informasi tentang
hubungan pusat-daerah, Inggris dan Prancis secara tradisional menghasilkan
sejumlah besar studi tersebut, dan kualitas penelitian empiris tentang Italia
dan negara-negara Skandinavia telah tinggi sejak
pertengahan tahun 1960. Spanyol juga telah menghasilkan volume
informasi yang relatif besar tentang hubungan pusat-daerah di tengah perubahan
kelembagaan sejak akhir rezim Franco tiie.
Selain itu, tujuh negara tersebut membawa
kita untuk berharap menemukan tingkat keanekaragaman antara pola hubungan
pusat-daerah yang cukup untuk mengeksplorasi setiap pendekatan teoretis untuk
menjelaskan perbedaan: Perancis, Spanyol dan Italia masing-masing sering
ditandai sebagai struktur negara 'Napoleon', dengan bentuk
kontrol pengawasan pemerintah daerah yang lebih rinci, di
samping perkembangan terakhir tentang penyediaan
kesejahteraan negara (Flora dan Alber, 1981:55).
Inggris dan negara-negara
Skandinavia secara tradisional telah dikatakan
memadukan doktrin
pemerintahan daerah yang mandiri dalam
konstitusi mereka, dan telah memeluk penyediaan sistematis tunjangan
kesejahteraan yang jauh lebih awal dari Perancis, Spanyol dan Italia. Setiap
kontributor kami diminta untuk menggambarkan pola hubungan pusat-daerah di
negaranya berdasarkan kerangka deskriptif komparatif.
Dengan demikian, kerangka itu tidak
mengklaim untuk menjelaskan apa-apa, namun membagi masalah peran pemerintah
daerah dalam negara modern ke dalam seperangka dimensi yang
berbeda. Namun penggunaan kerangka itu melampaui deskripsi komparatif
dan dapat digunakan untuk memfasilitasi
penjelasan mengenai perbedaan-perbedaan ini. Tentu saja,
penjelasan itu membutuhkan
spesifikasi tentang explanandum, dan ini adalah salah satu cara
di mana kerangka kerja itu mungkin bisa membantu. Namun
kerangka kerja itu juga menunjukkan beberapa bentuk bahwa penjelasan
tentang perbedaan tersebut dapat berlangsung. Mari
kita memeriksa beberapa kemungkinan yang disarankan oleh kerangka
kerja tersebut.
Kerangka kerja ini menunjukkan kemungkinan
bahwa fitur yang berbeda dari tiga dimensi tersebut mungkin saling
terkait atau, lebih tepatnya, bahwa pola-akses, fungsi dan
diskresi itu mungkin secara kausal berkaitan dengan yang lainnya.
Misalnya, akses langsung antara nasional dan politisi
daerah dapat dikaitkan dengan sistem pemerintah daerah dengan
diskresi yang kurang formal, berkat kecondongan/kecenderungan actor dalam sistem birokrasi yang mencoba untuk
mengatur prilaku guna mengeksploitasi bidang ketidakpastian melalui
penggunaan kekuasaan mereka sendiri untuk melakukan bargaining atau tawar menawar atau blackmail atau
pemerasan (melakukan pemerasan) secara resmi Pemimpin mereka
(Crcder, 1964). Hubungan kausal lain mungkin dapat dihipotesiskan
antara berbagai fungsi dan tingkat diskresi; meskipun fungsi pemerintah
daerah merupakan salah satu dimensi yang membantu
menentukan nilai pentingnya, yang secara paradoks
sistem-sistem itu di mana pemerintah
daerah mengalami keterbatasan diskresi daerah.
Bilamana pemerintah daerah memiliki
tanggung jawab fungsional yang luas, maka tindakannya menjadi lebih
penting bagi (pemerintah) pusat, dan karena itu lebih mungkin menjadi
sasaran pengaruh sentral di mana mereka mempengaruhi fungsi negara yang
krusial, seperti pemeliharaan pendidikan atau pendapatan, daripada
di mana mereka dibatasi pada penyediaan pusat rekreasi.
Kedua, kerangka kerja ini menunjukkan bahwa
penjelasan perbedaan tidak mungkin ditemukan di dalam satu teori
umum yang luas yang ada sekarang. Sebaliknya, pola alokasi
fungsional, diskresi dan akses tampaknya berhubungan
dengan badan teori yang berbeda, yang tidak semuanya secara
konvensional berkaitan langsung dengan masalah hubungan pusat-daerah. Misalnya, mengenai fungsi-fungsi
itu diperhatikan maka dua jenis literatur yang agak
berbeda muncul dalam pikiran mengenai pesaing utama untuk
menjelaskan pola diferensial alokasi
fungsional. Literatur federalisme fiskal dan literatur pilihan publik
(direview oleh King, 1984) telah berupaya untuk menentukan apakah jenis
pelayanan tertentu memiliki kualitas intrinsik,
seperti pembagian manfaat dan efek limpahan (spillover), yang
seharusnya membuat mereka menjadi fungsi subnasional dalam rangka
mengoptimalkan biaya dan tingkat penyampian (delivery).
Jadi kita mungkin mengharapkan
beberapa pelayanan dengan spilover yang lebih sedikit, seperti
hiburan dan rekreasi, menjadi berisfat daerah daripada nasional.
Tesis 'negara ganda(dual state)' didasarkan pada masalah yang berbeda, meskipun
juga membedakan antara berbagai jenis pelayanan
negara, ini menunjukkan bahwa ada pembagian (divisi) khas
yang ideal dalam aparatur negara antara fungsi investasi sosial (yang
secara luas dioperasionalkan sebagai keputusan yang mempengaruhi
akumulasi modal) dan fungsi konsumsi sosial (biasanya
kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan). Investasi sosial
merupakan fungsi dari pemerintah daerah dan pusat, dan tunduk pada mode
mediasi kepentingan 'korporatis'. Konsumsi sosial merupakan fungsi
dari pemerintah daerah dan tunduk pada bentuk
mediasi kepentingan yang lebih 'kompetitif' atau 'pluralis' (cf.
Saunders, 1984; Dunleavy, 1984).
Satu set jawaban atas masalah fungsi-fungsi
itu mungkin terletak pada hubungan antara pelayanan tertentu dan proses
yang lebih luas dari konflik politik di dalam suatu negara tertentu, bukan
dalam sifat dari pelayanan per se. Misalnya
konflik negara-gereja secara historis telah berada di
jantung kebijakan pendidikan di banyak negara Eropa, dan ini mungkin, seperti
di Perancis, telah menentukan/membentuk pengaturan kelembagaan untuk
penyediaan pelayanan sekolah (Archer, 1979).
Isu-isu yang terkait
dengan diskresi pemerintah daerah secar sama dapat
dieksplorasi dari perspektif apakah jenis pelayanan tertentu secara
inheren lebih setuju / dapat dipertanggungjawabkan ke arah pusat.
Sebagai contoh, tingkat pelayanan yang akan diberikanlebih dapat
ditentukan secara kuantitatif dan relatif tepat dalam program pemeliharaan
pendapatan (income maintenance) daripada di dalam pelayanan
di mana sifat pelayanan itu sendiri tergantung pada penilaian diskresi
'birokrat tingkat jalanan' (bandingkan Kochen dan Deutsch
, 1980, dengan Lipsky, 1979,; Sharpe, 1984). Atau, keterbatasan pada
diskresi mungkin lebih sedikit disebabkan sifat pelayanan yang inheren daripada struktur
kelembagaan dan politik yang lebih luas dari negara tertentu. Literatur
sejarah-kelembagaan, karya Hintze (1962), menunjukkan bahwa sistem prefek
pemerintah pusat, dengan kewenangan langsung atas pemerintah daerah, terkait
dengan sistem politik tanpa bentuk kebangsawanan kecil yang
setera dengan kebangsawanan di Inggris atau Ritter dai
East Elbian Prusia.
Penjelasan pola akses mungkin mengangkat
isu-isu yang telah diangkat di dalam banyak literatur
lain, terutama tentang mobilisasi politik dan pembangunan bangsa
(Rokkan, 1970), yang mengeksplorasi sejauh mana elite politik daerah
penting di dalam memobilisasi persetujuan dan legitimasi, dan dalam
pembentukan sistem partai. Pendekatan ini telah dikembangkan secara
khusus dan sangat berguna oleh Tarrow (1977), dalam konteks perbandingan
Prancis dan Italia.
Outline singkat pendekatan teoritis
untuk menjelaskan perbedaan dalam hubungan pusat-daerah ini tidak
menunjukkan teori mana yang mungkin terbukti paling
berguna. Outline ini menunjukkan bahwa berbagai perspektif teoritis
memiliki relevansi langsung untuk menjelaskan dimensi yang berbeda
dari hubungan pusat-daerah. Apakah diinginkan atau tidak atau mungkin
untuk memadukan perspektif itu menjadi sebuah teori yang lebih
umum atau tidak merupakan sesuatu yang tidak dapat dibahas di sini.
Namun demikian buku ini tetap
menjadi tahap pertama dari suatu usaha di mana penjelasan komparatif akan
dicoba, bab penutup (kesimpulan) menunjukkan jalan menuju
penjelasan komparatif lebih lanjut. Untuk
menjelaskannya membutuhkan sesuatu yang membutuhkan penjelasan. Dalam
kesimpulan tersebut, kami berusaha untuk menunjukkan bagaimana
detil penjelasan deskriptif yang berharga dalam buku ini
dapat dijelaskan untuk membentuk satu set perbedaan
yang jelas dan dapat dikelola antara negara-negara yang
membutuhkan penjelasan. Dimensi fungsi, akses dan diskresi
menunjukkan kita arah sejumlah fakta yang relavan di mana evaluasi pola
hubungan pusat-daerah dapat didasrkan/dilandaskan. Bab
penutup ini menjelaskan beragam kriteria di mana evaluasi dapat
dilakukan. Evaluasi, serta upaya untuk menjelaskan pola hubungan pusat-daerah
yang berbeda itu, akan membentuk subyek studi yang telah disiapkan.