Tipe Hukum Philippe Nonet dan Philip Selznick
03.51
Dalam bukunya Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi ini,
pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar
untuk men-sejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan
untuk kepentingan mereka yang berkuasa. Philippe Nonet dan Philip Selznick
mengakhiri suatu cara berfikir tertentu yang bersifat linier dan matematis,
yang dimaksud adalah meletakkan perkembangan dan pembangunan hukum secara
linier yang dikemas dalam bentuk “Teori Modernisasi”. Teori tersebut berjaya
pada tahun 60-an tetapi mulai surut sejak tahun 70-an. Teori modernisasi secara
sederhana mengatakan, bahwa negara-negara berkembang akan mencapai suatu
tingkat perkembang hukum yang dinikmati oleh negara-negara maju atau modern
asal mau mengikuti jalan yang ditempuh oleh masyarakat maju tersebut. Apabila
negara berkembang mampu menghilangkan hambatan-hambatan ke arah modernisasi,
maka akan dijamin menjadi negara maju. Jaminan tersebut lebih banyak tidak
terbukti dan mulailah teori tersebut ditinggalkan.
Maka dari itu Philippe
Nonet dan Philip Selznick mengembangkan model development. Kelebihan
model development Philippe Nonet dan Philip Selznick terletak pada
pemahamannya tentang betapa kompleksnya kenyataan antara hukum dan masyarakat.
oleh teori modernisasi, realitas yang kompleks telah direduksi menjadi sangat
sederhana, sehingga gagal lah teori tersebut membuat ramalan tentang
perkembangan hukum dalam masyarakat. Philippe Nonet dan Philip Selznick
menyadari kenyataan yang rumit antara hukum dan masyarakatnya. disitulah
kelebihan development model mereka. hal tersebut memperkuat keyakinan
kita bahwa semakin kokoh suatu teori berpijak pada pada kenyataan semakin besar
pula kekuatannya. kendatipun Nonet dan Selznick mengunggulkan tipe hukum yang
responsive tetapi itu tetap dipegangnya dengan reserve. keberhasilan
hukum responsif akan sangat ditentukan oleh oleh tersedianya modal sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan. bahkan apabila yang kita inginkan adalah
stabilitas, maka kedua penulis itu lebih mengunggulkan tipe hukum yang otonom.
Sebelum melangkah ke
pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar
dari hukum dalam masyarakat, yaitu: (1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan
refresif, (hukum represif), (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu
menjinakkan refresi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan (3)
hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi
sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif,
otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi
dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum
dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut
tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental
model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen
bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng
dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum
otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang
menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan
terjadinya responsivitas yang lebih besar. Karakter masing-masing tipe dapat
dilihat seperti tabel Tiga Tipe Hukum di bawah ini:
TIGA TIPE HUKUM
HUKUM
RESPONSIF
|
HUKUM
OTONOM
|
HUKUM
RESPONSIF
|
|
TUJUAN
HUKUM
|
Ketertiban
|
Legitimasi
|
Kompetensi
|
LEGITIMASI
|
Ketahanan
sosial dan tujuan negara (raison d’etat)
|
Keadilan
prosedural
|
Keadilan
substansif
|
PERATURAN
|
Akeras
dan rinci namun berlaku lemah terhadap pembuat hukum
|
Luas
dan rinci; mengikat penguasa maupun yang dikuasai
|
Subordinat
dari prinsif dan kebijakan
|
PERTIMBANGAN
|
Ad
hoc: memudahkan mencapai tujuan dan bersifat partikular
|
Sangat
melekat pada otoritas legal; rentan terhadap formalisme dan legalisme
|
Purposif
(berorientasikan tujuan); perluasan kompetensif kognitif
|
DISKRESI
|
Sangat
luas; oportunistik
|
Dibatasi
oleh peraturan; delegasi yang sempit
|
Luas,
tetapi tetap sesuai dengan tujuan
|
PAKSAAN
|
Ekstensif;
dibatasi secara lemah
|
Dikontrol
oleh batasan-batasan hukum
|
Pencarian
positif bagi berbagai alternatif, seperti intensif, sistem kewajiban yang
mampu bertahan sendiri
|
MORALITAS
|
Moralitas
komunal; moralisme hukum; “moralitas pembatasan”
|
Moralitas
kelembagaan; yakni dipenuhi dengan integritas proses hukum
|
Moralitas
sipil; “ kerja sama”
|
POLITIK
|
Hukum
subordinat terhadap politik kekuasaan
|
Hukum
“independen” politik; pemisahan kekuasaan
|
Terintegrasinya
aspirasi hukum dan politik; keterpaduan kekuasaan
|
HARAPAN
AKAN KETAATAN
|
Tanpa
syarat; ketidaktaatan per se dihukum sebagai pembangkangan
|
Penyimpangan
peraturan yang dibenarkan, misalnya untuk menguji validitas undang-undang
atau perintah
|
Pembangkangan
dilihat dari aspek bahaya substantif; dipandang sebagai gugatan terhadap
legitimasi
|
Sumber: Philippe Nonet dan
Philip Selznick Hukum Responsif " Pilihan di Masa Transisi
Hukum Represif, Hukum
Otonom dan Hukum Responsif Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick
Hukum Represif
Hukum Represif adalah hukum yang mengabdi kepada kekuasaan represif dan kepada tata tertib sosial yang represif. Kekuasaan yang memerintah adalah represif, bilamana ia kurang memperhatikan kepentingan-kepentingan rakyat yang diperintahkan artinya bilamana ia cenderung untuk tidak mempedulikan kepentingan-kepentingan tersebut atau menolak legitimasinya. Meskipun represif sering kali berbentuk penindasan dan pemaksaan yang terang-terangan, pemaksaan sendiri bukanlah merupakan ciri yang menentukan bagi sifat represif, melainkan diacuhkannya atau diterlantarkannya kepentingan rakyat. Mengenai perbedaan antara represif dengan pemaksaan: pertama, tidak semua pemaksaan adalah represif. Kedua, represif tidak perlu memaksa.
Perhatian paling utama
hukum represif adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan
umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum represif
dihubungkan dengan kekuasaan, namun ia tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda
dari kekuatan kekuasaan (dari kekuasaan yang kuat). Nonet dan Selznick
menyebutkan beberapa bentuk dalam mana represi dapat memanifestasikan dirinya.
Yang satu adalah ketidak mampuan pemerintah untuk memenuhi tuntutan-tuntutan
umum. Yang lain adalah pemerintah yang melampaui batas. Suatu bentuk lain lagi
adalah kebijakan umum yang berat sebelah, yang sering kali dipercontohkan
pembaruan kota-kota dan kebijakan pengembangan ekonomi dalam mana “program
pemerintah tidak mempunyai sarana untuk memenuhi, ataupun memperhatikan,
lingkup kepentingan individual dan kelompok yang dipengaruhinya.
Ciri-ciri umum dari hukum
represif :
Institusi-institusi
hukum langsung terbuka bagi kekuasaan politik; hukum diidentifikasikan dengan
negara dan tunduk kepada raison d e’tat.
Perspektif
resmi mendomonasi segalanya. Penguasa cenderung untuk mengidentifikasikan
kepentingannya dengan kepentingan masyarakat.
Kesempatan
bagi rakyat untuk mendapatkan keadilan dimana mereka dapat memperoleh
perlindungan dan jawaban atas keluhan-keluhannya apabila keadilan semacam itu
memang ada adalah terbatas.
Badan-badan
pengawas khusus seperti polisi misalnya menjadi pusat kekuasaan yang bebas.
Suatu
rezim hukum rangkap melembagakan keadilan keras dengan mengkonsolidasikan dan
mengesahkan pola subordinasi sosial.
Hukum
dan otoritas resmi dipergunakan untuk menegakkan konformitas kebudayaan.
Hukum Otonom
Hukum otonom berorientasi
kepada mengawasi kekuasaan represif. Dalam arti ini hukum otonom merupakan
antitese dari hukum represif dalam cara yang sama seperti “kekuasaan oleh
hukum” yaitu hukum hanya sebagai suatu sarana untuk memerintah berhubungan
dengan kekuasaan berdasar hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada
kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas-relitas
institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi-potensi
khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan
dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya.
Sifat-sifat paling penting
dari hukum otonom adalah : penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya
utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan swasta terdapat pengadilan yang dapat
didatangi secara bebas yang tidak dapat dimanipulasi oleh kekuasan politik dan
ekonomi serta bebas daripadanya dan yang memiliki otoritas ekskluif untuk
mengadili pelanggar hukum baik oleh para pejabat umum maupun oleh
individu-individu swasta.
Sebuah prinsip penting
dari hukum otonom adalah terpisahnya dari politik. Ahli-ahli hukum dan
pengadilan adalah spesialis-spesialis dalam menafsirkan dan menetapkan hukum,
namun isi substantif hukum tidak ditentukan oleh mereka, melainkan oleh hasil
dari tradisi atau keputusan politik. Hukum otonom menunjukkan tiga kelemahan
khas yang sama sekali membatasi potensial hukum untuk memberi sumbangan kepada
keadilan sosial:
Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi. Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
Perhatian yang terlalu besar terhadap aturan-aturan dan kepantasan prosedural mendorong suatu konsep yang sempit tentang peranan hukum. Mematuhi aturan-aturan dengan ketat dilihat sebagai suatu tujuan tersendiri dan hukum menjadi terlepas dari tujuan. Hasilnya adalah legalisme dan formalisme birokrasi. Keadilan prosedural dapat menjadi pengganti keadilan substantif.
Penekanan atas kepatuhan
terhadap hukum akan melahirkan pandangan tentang hukum sebagai suatu sarana
kontrol sosial, ia mengembangkan suatu mentalitas hukum dan tata tertib
diantara rakyat dan ia mendorong ahli-ahli hukum untuk mengadopsi suatu sikap
yang konservatif. Kelemahan-kelemahan ini akan menghambat realisasi kekuasaan
secara benar berdasarkan hukum yang dicita-citakan. Namun demikian, hukum
otonom mengandung suatu potensi untuk perkembangan lebih lanjut dengan mana
kelemahan-kelemahan ini akan dapat diatasi.
Hukum Responsif
Sifat responsif dapat
diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan
ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat. Sifat responsif mengandung
arti suatu komitmen kepada “hukum di dalam perspektif konsumen”.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas. Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Nonet dan Selznick menunjuk kepada dilema yang pelik di dalam institusi-institusi antara integritas dan keterbukaan. Integritas berarti bahwa suatu institusi dalam melayani kebutuhan-kebutuhan sosial tetap terikat kepada prosedur-prosedur dan cara-cara bekerja yang membedakannya dari institusi-institusi lain. Keterbukaan yang sempurna akan berarti bahwa bahasa institusional menjadi sama dengan bahasa yang dipakai dalam masyarakat pada umumnya, akan tetapi akan tidak lagi mengandung arti khusus, dan aksi-aksi institusional akan disesuaikan sepenuhnya dengan kekuatan-kekuatan di dalam lingkungan sosial, namun akan tidak lagi merupakan satu sumbangan yang khusus kepada masalah-masalah sosial. Konsep hukum responsif melihat suatu pemecahan untuk dilema ini yang mencoba untuk mengkombinasikan keterbukaan dengan integritas. Jawaban dari hukum responsif adalah adaptasi selektif ke dalam tuntutan-tuntutan dan tekanan-tekanan baru. Apakah yang menjadi kriteria seleksinya? Tidak lain daripada kekuasaan berdasar hukum yang dicita-citakan, tetapi sekarang tidak lagi diartikan sebagai kepantasan prosedural formal, melainkan sebagai reduksi secara progresif dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan politik, sosial dan ekonomi. Jadi hukum responsif tidak membuang ide tentang keadilan, melainkan ia memeperluasnya untuk mencakup keadilan substantif. Dua ciri yang menonjol dari konsep hukum responsif adalah (a) pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan; (b) pentingnya kerakyatan baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya.
Hukum responsif membedakan
dirinya dari hukum otonom di dalam penekanan pada peranan tujuan di dalam
hukum. Nonet dan Selznick bicara tentang kedaulatan tujuan. Pembuatan hukum dan
penerapan hukum tidak lagi merupakan tujuan sendiri melainkan arti pentingnya
merupakan akibat dari tujuan-tujuan sosial yang lebih besar yang dilayaninya.
Hukum yang purposif adalah berorientasi kepada hasil dan dengan demikian
membelok dengan tajam dari gambaran tentang keadilan yang terikat kepada
konsekwensi. Menurut Nonet dan Selznick, penerimaan maksud memerlukan penyatuan
otoritas hukum dan kemauan politik. Jika maksud menunjuk kepada fungsi dari
pemerintah, maka kerakyatan menunjuk kepada peranan yang sangat menentukan dari
partisispasi rakyat dalam hukum dan pemerintahan serta nilai terakhir yang
dipertaruhkan, yaitu tercapainya suatu komunitas politik yang berbudaya yang
tidak menolak masalah-masalah kemanusiaan dan dalam mana ada tempat bagi semua.
Norma kerakyatan dapat diartikan sebagai pernyataan hukum dari suatu etika yang
menghormati manusia sebagai nilai yang paling tinggi bagi kehidupan politik
dalam dunia modern. Norma kerakyatan, pertama: membedakan hukum responsif dari
hukum represif dengan memaksakan adanya penampungan bagi
kepentingan-kepentingan manusiawi dari mereka yang diperintah. Kedua, ia
membedakan hukum responsif dari hukum otonom dengan memperlunak tuntutan
tentang kepatuhan kepada aturan-aturan dan mengikuti saluran-saluran prosedural
yang telah ditetapkan dan dengan sikapnya yang lebih menyukai pendekatan
integrasi kepada problem-problem penyelewengan, ketidak patuhan dan konflik.
Ketiga, norma kerakyatan menuntut cara-cara partisipasi dalam pembuatan
keputusan.
Salah satu aspek dari
penampungan kepentingan manusiawi yang bermacam-macam adalah penolakan hukum
responsif atas moralitas hukum. Nonet dan Selznick berbicara tentang mengatasi
parokhlialisme dan moralitas komunal. Ekspansi dari partisipasi akan menunjang
perkembangan dan implementasinya dari tata tertib umum. Pada waktu yang sama
seperti yang ditunjukkan oleh Nonet dan Selznick, partisipasi yang diperluas
tidak cukup. Apabila hal ini tidak berjalan bersama-sama dengan suatu usaha
kebijakan pemerintah yang efektif, itu akan dapat mengakibatkan suatu situasi
dalam mana masalah-masalah umum akan dapat mengakibatkan suatu situasi dalam
mana masalah-masalah umum akan diperintah oleh kelompok-kelompok kepentingan
yang kuat dan terorganisasi dengan baik. Mungkin kita dapat mengatakan bahwa
tanpa partisispasi, pemerintah dan administrasi akan menjadi represif dan tanpa
pemerintahan yang baik, maka partisipasi akan menjurus kepada pemerintahan oleh
kepentingan-kepentingan dari pihak yang kuat.
Menuju Hukum yang Memahami
Realitas
Sebagai bangsa yang telah
merdeka selama 63 tahun, predikat sebagai negara terkorup hingga hari ini masih
melekat pada Indonesia. Meningkatnya angka kemiskinan di setiap tahun masih
terus membayangi, ditambah lagi dengan keburukan moral para elite politik yang
kian korup dan memprihatinkan, hingga berimplikasi pada pesimisme masyarakat
terhadap supremasi hukum sebagai garda depan sebuah bangsa.
Hukum yang ada hanya
dipahami sebagai aturan-aturan yang bersifat kaku, terlalu menekankan pada
aspek the legal system, tanpa melihat kaitan antara hukum dengan
persoalan-persoalan masyarakat yang harus ditangani. Di satu sisi, hukum
identik dengan ketertiban sebagai cermin pengaturan dari penguasa, tapi di sisi
lain terdapat pemahaman hukum yang menekankan aspek legitimasi dari peraturan-peraturan
itu sendiri. Padahal hukum semestinya tidak buta terhadap konsekuensi
sosial-politik yang ada dan tidak kebal terhadap berbagai pengaruh kepentingan.
Memahami kondisi itu,
Sabian Utsman, Lektor Sosiologi Hukum STAIN Palangkaraya, melalui buku ini,
berupaya menjawab problematika hukum dewasa ini yang semakin karut-marut.
Dengan mengusung konsep hukum responsif yang digagas Philippe Nonet dan Philip
Selznick, Sabian mengandaikan penerapan sistem hukum yang responsif di
Indonesia. Sebuah sistem hukum yang tidak hanya mengandung unsur pemaksaan dan
penindasan, tapi menekankan aspek pemecahan problem sosial yang kontekstual,
yakni hukum yang memikirkan kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pemikiran Philippe Nonet
dan Philip Selznick secara garis besar mengupas tiga klasifikasi dasar dari
hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum
represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakkan represi
dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator
dari berbagai respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif).
Dari ketiga klasifikasi tipe hukum itu, tipe hukum responsiflah yang paling
menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil di Indonesia. Sehingga
model pengembangannya (development model) dapat disusun ulang secara lebih
fokus dan kontekstual.
Hukum responsif
berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum.
Dalam tipe hukum ini, tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui
subordinasi. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai tersirat
dalam peraturan dan kebijakan, karena pada dasarnya teori hukum responsif
adalah teori hukum yang memuat pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa
hukum merupakan cara mencapai tujuan.
Hukum responsif tidak
hanya berorientasi pada rules, tapi juga logika-logika yang lain. Bahwa
memberlakukan jurisprudence saja tidak cukup, tapi penegakan hukum
harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi
seluruh pihak yang terlibat dalam proses penegakan hukum, mulai dari polisi,
jaksa, hakim, dan advokat untuk bisa membebaskan diri dari kungkungan hukum
murni yang kaku dan analitis.
Produk hukum yang
berkarakter responsif, proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni
mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi semua elemen masyarakat, baik dari
segi individu ataupun kelompok masyarakat, dan juga harus bersifat aspiratif
yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya, produk
hukum itu bukan kehendak dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya.
Dalam model
pengembangannya (developmental model), hukum responsif berupaya memecahkan
persoalan mendasar dalam membangun sistem politik-hukum, di mana tanpa adanya
sistem politik-hukum ini mustahil bagi perkembangan hukum dan politik untuk
bergerak ke arah yang lebih baik. Penerapan hukum responsif tidak terlepas dari
integrasi yang dekat antara hukum dan politik. Wujud dari integrasi yang sangat
dekat ini adalah adanya subordinasi langsung dari institusi-institusi hukum
terhadap elite-elite yang berkuasa, baik di sektor publik maupun swasta.
Karena selama ini,
disadari atau tidak, selain tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, keberadaan
hukum juga menjadi ancaman bagi masyarakat. Pada kondisi inilah hukum responsif
mengisyaratkan bahwa penegakan hukum tidak dapat dilakukan setengah-setengah.
Menjalankan hukum tidak hanya menjalankan undang-undang, tetapi harus memiliki
kepekaan sosial. Sudah waktunya para aparat penegak hukum responsif sebagai
landasan diberlakukannya keadilan sejati dari kenyataan-kenyataan sosial yang
terjadi di masyarakat.
Dalam buku setebal 108
halaman ini, penulis tidak hanya mengupas wacana penegakan hukum responsif,
tapi juga tentang perbandingan common law system yang diterapkan di
negara-negara Barat dengan sistem hukum Indonesia yang merupakan dampak
konkordansi dari penjajahan Belanda. Selain itu, pada bagian akhir, penulis
juga menyempurnakannya dengan kajian spiral kekerasan dalam penegakan hukum di
Indonesia.
Hadirnya buku ini
sejatinya bukan sekadar untuk menghujat praktik hukum yang sudah ada yang
tampak karut-marut. Tetapi ia mengajak untuk bersikap kritis sekaligus
menawarkan kemungkin solusi terhadap praktek hukum Indonesia sampai pada aspek
yang paling fundamental, yaitu membangun Ilmu Hukum Indonesia (Indonesian
Jurisprudence).
Penegakan hukum responsif
diharapkan bisa membantu memecahkan persoalan-persoalan yang terjadi di
masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar untuk menyejahterakan masyarakat
dalam kepentingan yang lebih besar, bukan untuk kepentingan kaum elite yang
berkuasa. Buku ini sekali lagi tidak mengklaim bahwa hukum responsif adalah
pilihan terbaik dari sebuah sistem hukum, meskipun hukum responsif memberikan
tawaran yang menjanjikan atas carut-marutnya kondisi hukum di Indonesia.
Terima kasih, sangat membantu 😁😊
BalasHapusthanks bro sangat membantu. sumber tulisan/kutipannya bisa dishare gak bro??
BalasHapusgabisa di copas tapi kamu juga copas dari bukunya peters wkwk
BalasHapusDari ketiga tipe hukum di atas, tipe hukum ygmana yg dapat diterapkan dalam keadaan darurat covid skarang?
BalasHapusbacot
BalasHapusterima kasih
BalasHapus