Pemilu dan Potensi Krisis Konstitusi di Indonesia
03.50
Kurang lebih skitar 5 bulan yang lalu ketika saya masih
studi di program pasca sarjana judul yg hendak saya pilih dalam rencana tesis
saya adalah potensi krisis konstitusi, ide ini muncul setelah saya membaca
tulisan dari prof yusril ihza mahendra beliau mengatakan bahwa konstitusi kita
saat ini sangat rentan dan memungkinkan terjadinya krisis konstitusi.
Dalam pemahaman negara-negara eropa krisis konstitusi (constitutional
crisis) di definisikan is a situation that the legal system's constitution or
other basic principles of operation appear unable to resolve; it often results
in a breakdown in the orderly operation of goverment.
Often, generally speaking, a constitutional crisis is a situation in which
separate factions within a goverenment disagree
about the extent to which each of these factions hold soverignty.
Most commonly, constitutional crises involve some degree of conflict between
different braches of goverenment
Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila
belum ada norma atau aturan yang mengatur scara eksplisit maupun implisit
tentang suatu permasalahan konstitusi.Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam
karyanya moderen constitution mengatakan bahwa konstitusi merupakan
kumpulan peraturan yang mengatur pemerintahan negara, lebih luas lagi Van
apeldorn mengatakan bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun
tidak tertulis (unwriten). Secara sederhana konstitusi dapat dipahami
sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun tidak) dengan tujuan mengatur
penyelenggaraan pemerintahan negara yang memiliki kedudukan hierarkis tertinggi
dalam sebuah negara. Jika menggunakan pendekatan dari teori ini maka harusnya
konstitusi memuat aturan yang bersifat detil sehingga meminimalisir potensi
terjadinya krisis konstitusi.
Dalam tulisannya prof yusril mendeskripsikan suatu kasus
yang bisa saja menimbulkan krisis konstitusi seperti dlm kasus impeachment (pemakzulan). Didalam
pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan bahwa
“jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis
masa jabatannya.” Sedangkan jika berhalangan tetap scara bersamaan maka
jalannya pemrintahn akan dilaksanakn secara bersama oleh triumvirat (Menteri
dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Permasalahanya adalah, jika presiden dan wakil presiden
brehalagan tetap scara bersamaan dan kemudian mendemisionerkan kabinet (trmsuk
triumvirat) mengingat presiden mempunyai hak prerogratif maka dapat dipastikan
tidak ada yang menjalankan pemerintahan (vacum of power) Kasus yg
seperti ini kemudian dipandang oleh prof yusril sebagai pintu awal terjadinya
krisis konstitusi karena memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian
mengatur permasalahan ini.
Secara yuridis normatif harus diakui bahwa konstitusi
indonesia tidak mengatur permasalahan ini tetapi disatu sisi jika kasus ini
ditelah dengan teliti maka permasalahan ini bisa dipecahkan melalui Mahkamah
Konstitusi mengingat salah satu tugas MK adalah memutus pendapat DPR bahwa
presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum (pasal 10
(2) UU MK NO 24 Tahun 2003). jika kasus ini terjadi maka MK melalui putusannya
(amar putusan) dapat saja membuat putusan bahwa presiden tidak dapat mendemisionerkan
kabinet. secara de jure otomatis jika ketentuan ini dilaksanakan maka
krisis konstitusi tidak akan terjadi sebab hak prerogratif presiden pasca
dinyatakan bersalah telah dicabut.
Jika ditelaah lebih lanjut, maka dapat diketahui bahwa tugas
Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan Presiden bersalah dan selanjutnya
mekanisme pemberhentian diserahkan ke MPR. Tetapi dalam kasus seperti ini MK
dapat saja melakukan trobosan hukum dengan menambahkan putusannya untuk
mengugurkan hak prerogratif presiden. Trobosan hukum yang dilakukan oleh Hakim
MK ini kemudian dapat dipahami sebagai rechtsvinding mengingat proses
penemuan hukum merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan
hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Artinya di
satu sisi rechtsvinding ini dipandang perlu dilakukan mengingat
potensi krisis konstitusi yang dapat saja terjadi pasca diberhentikannya
presiden dan wakil presiden secara bersamaan.
Pemilu dan Potensi Krisis
Lalu bagaimana dengan potensi potensi krisis konstitusi
lainnya yang bisa saja muncul. jika konstitusi hasil perubahan kita saat ini
dianalisis lebih lanjut maka banyak sekali ditemukan titik krisislainnya.
Misalnya pada pengaturan tentang pemilu. baik konstitusi maupun Undang-Undang
kepemiluan, baik presiden maupun pemilu legislatif tidak mengatur apabila
ternyata penyelenggaran pemilu gagal dan tidak menghasilkan perwakilan di
parlemen atau bahkan tidak menghasilkan presiden.
Jika mengacu pada aturan konstitusi saat ini, maka dalam
pasal 6A (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dengan tegas
menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih apabila
memperoleh lebih dari lima puluh persen suara nasional (suara mayoritas mutlak)
dan 20 persen disetiap wilayah provinsi. Jika dianalisis konstruksi pasal ini
maka dapat dipahami bahwa pertama, presiden terpilih apabila berhasil
memperoleh suara mayoritas mutlak dari total suara yang masuk. Kedua, angka
atau persentase suara ini merupakan ketentuan yang mutlak dan rigid. Artinya,
presentasi angka ini tidak dapat diubah apabila tidak ada satupun pasangan
calon yang memperoleh suara mutlak mayoritas.
Kondisi seperti ini bisa saja muncul mengingat pemilu 2014,
konstituen terbesarnya diisi oleh segmentasi pemilu pemula, disamping itu
meningkatnnya angka golput (berkaca pada pemilu kada) di hampir seluruh wilayah
indonesia menambah beban berat suksesi penyelenggaran pemilu 2014 Bertitik
tolak dari hasil analisis ini maka timbul pertanyaan apabila tidak ada satu
pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berhasil memperoleh suara
seperti yang telah diamanatkan dalam konstitusi maka pemilu dapat dipastikan
gagal karena tidak dapat menghasilkan presiden dan wakil presiden.
Pertanyaannya adalah, siapa atau lembaga mana yang kemudian dapat menjalankan
pemerintahan mengingat didalam negara tidak dibenarkan terjadinya kekosongan
jabatan (vacum of power) apalagi tidak ada presiden dan wakil presiden. Secara
teori dalam negara dengan sistem pemerintahan presidensil presiden memiliki peranan
yang sangat penting untuk menentukan jalannya pemerintahan.
Secara yuridis normatif jika mengacu pada ketentuan
konstitusi dan Undang-undang maka dapat dipastikan tidak ada lembaga yang
berwenang menjalankan pemerintahan sebab pemilu tidak menghasilkan apapun.
Apakah kemudian benar pendapat prof yusril dengan mengembalikan fungsi MPR
sebagai lembaga tertinggi negara menjadi solusi untuk mengatasi kegagalan
pemilu 2014 ini ? apakah mungkin dalam waktu yang relatif singkat MPR melakukan
perubahan terhadap Konstitusi ? untuk kemudian mengembalikan fungsi MPR sebagai
lembaga tertinggi negara.
Dalam hemat penulis, solusi yang mungkin saja dapat diambil
adalah dengan melakukan perubahan terhadap konstitusi kita saat ini, seyogyanya
MPR (DPR dan DPD) membuat regulasi atau pengaturan baru berkenaan dengan
permasalahan seperti ini, atau jika perubahan kontitusi dipandang terlalu rumit
maka salah satu solusinya adalah dengan membuat atau
mengubah Undang-Undang kepemiluan dan membuat regulasi baru berkenan
dengan potensi krisis yang dapat saja muncul, misalnya memberikan legitimasi
kepada lembaga-lembaga seperti TNI-Kepolisian (jabatan Panglima atau kapolri
tidak secara otomatis berhenti apabila presiden habis masa jabatannya) untuk
menjalankan pemerintahan apabila pemilu dianggap gagal atau bahkan jika
menghendaki MPR menjalankan pemerintahan maka pilihannya adalah harus melakukan
perubahan terhadap konstitusi terlebih dahulu sehingga MPR memliki legitimasi
yang sangat kuat dalam mengisi kekosongan jabtan pemerintahan. Apapun hasil
pemilu 2014 nanti dan berbagai permasalahan yang muncul didalamnya, dapat
dipastikan negara ini harus berjalan sebagai mana mestinya.