FENOMENA CALON LEGISLATIF; Pengabdian atau Jobless Haruskah kita percaya pada Mereka ?
03.49
Permulaan
tahun 2014 di indonesia diwarnai oleh aktivitas politik, even lima tahunan yang
dilaksanakan secara continuitas seolah menandakan bahwa pada tahun ini akan
terjadi perebutan “kekuasaan” baik diranah eksekutif maupun Legislatif. Jika di
tahun 2009 Jumlah Parpol yang ikut dalam pemilu berjumlah 34 parpol maka
ditahun 2014 ini terjadi penurunan menjadi 15 parpol saja. Walaupun demikian yang
menarik dalam pemilu 2014 ini adalah jumlah calon anggota legislatif yang
berjumlah 200.000 orang yang akan memperebutkan 19.000 kursi di parlemen
(detik.com). Angka ini terlihat wajar dan berbanding lurus dengan luas
teritorial Negara Indonesia, tetapi bagi sebagian orang partisipasi politik
seperti ini menimbulkan banyak pertanyaan.
Baik
konstitusi maupun undang-undang kepemiluan secara tegas tidak membatasi warga
negara indonesia untuk terlibat secara langsung dalam proses ini. Ke-16 butir
syarat sebagaimana disebutkan oleh pasal 51 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan umum Anggota DPR,DPD,DPRD, terbilang “longgar”. Jika ke-16 syarat ini
dianalisis satu persatu maka kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa
untuk menjadi caleg di Indonesia tidak memerlukan kriteria khusus, tidak pula
mengharuskan seseorang untuk cedas secara intelektual, teruji secara kapasitas
dan kapabilitas ataupun memiliki intgeritas tinggi.
Celah
diantara syarat ini kemudian melahirkan para calon wakil rakyat dari berbagai
latar belakang yang berbeda satu sama lainnya, dimulai dari tokoh nasional,
politisi, praktisi, ulama, Mahasiswa, (fresh
graduated), ibu rumah tangga, tukang sayur, mantan narapidana, preman,
kalangan seleberitas penyanyi dangdud dan sebagainya. Partisipasi seperti ini
wajib di apresiasi oleh negara yang menjunjung tinggi prinsip demokratis
seperti indonesia tetapi, harus dipahami bahwa masyarakat kita saat ini masih
memandang demokrasi sebagai suatu Tujuan Akhir (main goal) bukan melihat pada prosesnya.
Dalam
sebuah tulisan yang telah dipublish di media nasional ditemukan beberapa fakta
unik dari fenomena ini, 25 % caleg tahun ini diikuti oleh mereka yang pernah
menjabat sebagai anggota perwakilan, 27% memiliki pekerjaan dan 48% nya tidak
bekerja (jobless) dan atau tidak
memiliki pekerjaan yang tetap. Dari fakta sederhana ini dapatlah disimpulkan
bahwa Latar belakang para caleg di tahun 2014 ini adalah untuk mencari
pekerjaan dengan prinsip spekulasi. setuju atau tidak data ini menunjukan
realitas sosial yang sedang hits di
Indonesia.
Kaderisasi
yang tidak menghasilkan sense of leaders,
proses rekrutmen hingga penetapan calon legislatif di internal partai menjadi akar permasalahan kualitas calon anggota
legislatif saat ini. Belum lagi perpindahan kader dari satu partai ke partai
yang lain sangat lumrah terjadi dalam praktek politik di negara ini. Selain itu
kepentingan antar golongan terkadang mengenyampingkan hak hak publik, ‘Shawat’
kekuasaan yang besar terkadang melupakan kualitas individu.
Pertanyaan
besarnya adalah, apakah kemudian pantas masyarakat memilih mereka ? selanjutnya
setelah melihat realitas diatas apakah benar kemudian Golput masih menjadi
“Haram” seperti yang di fatwahkan MUI, bukankah kita didalam agama harus
menyerahkan segala sesuatunya pada yang ahlinya ?
Regulasi
baru dan perubahan Undang-Undang Kepemiluan khususnya pasal 51 yang mengatur
tentang syarat mutlak diperlukan sebagai upaya menyelamatkan wajah parlemen di
masa yang akan datang, para wakil rakyat seharus bersepakat untuk
mengenyampingkan urusan popularitas, elektabilitas dan aksebilitas partai.
Dalam konsep ideal dan kondisi kekinian rasanya syarat pendidikan minimal
SMA/SMK/MA sederajat perlu ditinjau ulang, mengingat pendidikan menjadi syarat
mutlak yang disebutkan secara eksplisit oleh Undang-Undang, oleh sebab itu
apakah syarat masih sesuai dengan kondisi saat ini. selain itu nampaknya
diperlukan lembaga independen yang difungsikan sebagai badan penguji (penseleksi)
calon sebelum dinyatakan sebagai calon Legislatif pada pemilu legislatif.dan
terahkir seyogyanya syarat ini harus diperketat, bukan hanya dijadikan
dialektika formal saja.