ASYMMETRY DI NEGARA FEDERASI, FEDERASI DAN NEGARA KESATUAN
04.20JHON MCGARY
Ilmuan politik pertama yang secara resmi
membahas asimetri dalam konteks federasi amerika adalah Charles tarlton dalam
jurnal politik (tarlton, 1965). Tartlon menunjukan bahwa studi klasik
federasi, oleh K.C Wheare dkk, telah memfokuskan hubungan antara pusat federal
dan daerah serta berasumsi bahwa wilayah tersebut adalah sama hubungannya
dengan pusat maupun yang lain. Selain ity mereka juga beasumsi federasi terdiri
atas daerah yang sama. Tartlon menunjukan fakta bahwa daerah federasi telah
banyak merubah luas, mencakup ukuran, populasi, bobot dalam institusi federasi,
bagian dari alam dan yang berhubungan dengan penelitian, dan budaya dan mereka
sangat menyarankan ketidaksamaan atau asimetri dalam hubungannya dengan yang
lain dan system seluruhnya. Dalam asimetri, tartlon berpendapat memberikan
kenaikan persoalan yang tidak dapat diselesaikan alasannya dari simetri dalam
studi klasik.
Hari ini, diskusi tentang asimetri dan
federasi tidak mengikuti tarlton. Dalam asimetri federasi sekarang biasanya
semua bagian dipahami sebagai garansi konstitusi autonomy. Tapi salah satu
bagian yang berbeda, biasanya mempertinggi, level autonomy daripada
beristirahat.
Asimetri digunakan untuk mendeskripsikan
kasus dimana salah satu bagian adalah daerah yang memiliki autonomi, tetapi
sisanya tidak. Otonomi adalah jaminan konstitusi, dan tidak dapat dibatalkan
oleh Negara pusat yang berwenang, yang berfederasi. Jika pusat membaatalkan
otnomi, maka ada asemetri desentralisasi dalam Negara kesatuan.
Institusi asimetrikal menyusun beberapa
alasan yang berbeda. Cina Negara kesatuan,mengijinkan hongkong untuk setuju
lebih dengan otonomi dariupada menikmati keistirahatan Negara karena sangat
mudah untuk reabsorpsi dan membawa keuntungan ekonomi. Dalam banyak kasus,
bagaimanapun, asimetri adalah respon dari adanya perbedaan pluri-nasional.
Salah satu gagasan respon dari demand for a distinctive otonomi
dari mobilisasi nasional (disini sebagai sebagian Negara atau negara
minoritas), atau ketika anggota independent yang didanai oleh pemerintah
istimewa dalam mengembalikan keutuhan Negara.contoh dari naskah penyusunan
asimetrical dari inggris, dimana skotlandia, wales dan irlandia utara menikmati
perbedaan pemerintahan masing-masing tetapi inggris bekas jajahan wetminster.
Untuk Indonesia yang telah memberikan aceh otonomi yang luas daripada berdiam
diri, dan Malaysia dan india dimana beberapa daerah federal mempunyai autonomy
juga.
Dalam tulisan ini, saya menawarkan dukungan
untuk otonomi asimetri dalam Negara pokok pluri-nasional untuk menunjukan
batasan dari otonomi simetri. Diakhir telah dicatat otonomi
asimetri bukan tanpa kesulitan dan disana ada batasan
bagaimana Negara meneruskan sususan asimetri dengan sisa , tetapi bahaya dari
asimetri tidak melebihlebihkan.
PUSAT DAN DAERAH : FUNGSI, AKSES DAN DISKRESI
03.57Edward C. Page dan Michael J. Goldsmith
Pada periode pasca perang,
studi tentang pemerintah daerah di negara-negara Eropa Barat
didominasi oleh dua masalah, yang keduanya mendapat
perhatian besar dalam praktik kebijakan praktis pemerintah. Yang pertama adalah masalah reorganisasi, yang dinyatakan
dalam hal bagaimana cara 'terbaik' untuk mengatur unit-unit
pemerintah daerah dalam rangka menyediakan pelayanan publik. Apakah kriteria
terbaik itu melibatkan faktor teknis yang
sempit atau faktor politik yang luas atau tidak (Sharpe, 1978;
Dearlove, 1979). Pada tahun 1960 dan 1970-an.
Pemerintah mengajukan proposal untuk
mengubah ukuran unit pemerintah daerah. beberapa
proposal itu sepenuhnya dilaksanakan, seperti di Inggris
dan di negara-negara Skandinavia, tetapi di negara-negara lain,
seperti Italia dan Perancis, pelaksanaannya lebih bersifat tambal
sulam. Mereka juga mengajukan proposal untuk mengubah pola manajemen, seperti
struktur manajemen perusahaan, dan sistem perencanaan
kebijakan dan keuangan. Seiring dengan perjalanan
waktu, banyak literatur akademis yang berhubungan
dengan penjelasan kebutuhan perubahan itu dampak perubahannya telah diproduksi (terakhir, misalnya, dalam buku Rowat,
1980).
Masalah kedua adalah terkait dengan
masalah di atas, tetapi dalam beberapa hal bahkan lebih mendasar. Masalah
kedua ini adalah masalah desentralisasi: apa yang seharusnya
menjadi kekuatan dan kemampuan pemerintah daerah di negara-negara modern? Sejak
terjadinya tekanan fiskal kepada pemerintah daerah pada
pertengahan 1970-an, kebijakan pemerintah pusat yang bertujuan untuk mengurangi
tingkat hibah kepada pemerintah daerah dan, lebih umum, pengeluaran daerah di
beberapa negara, seperti Inggris dan Norwegia, telah
menyebabkan pemahaman sentralisasi pemerintah; di negara-negara lain,
seperti Italia dan Perancis, tindakan yang bertujuan desentralisasi telah
diperkenalkan sebagai bagian dari komitmen pemerintah pusat untuk merestrukturisasi
proses pengambilan keputusan dan meningkatkan peran pemerintah daerah di
dalam negeri negara tersebut.
Dalam bidang desentralisasi ini, tiga
masalah akademik besar telah dikembangkan. Pertama masalah
pendokumentasian sifat sistem desentralisasi sejauh pemerintah daerah yang
bersangkutan; berapa banyak tindakan dalam pembuatan kebijakan berlangsung di
tingkat daerah, atau melibatkan elit politik dan
administrasi (pemerintahan) daerah? Tentu saja, studi
klasik mengenai masalah-masalah, seperti oleh Griffith
(1966) untuk Inggris dan Worms (1966) untuk Perancis,
mendahului tekanan fiskal, dan perdebatan terbaru tentang
sentralisasi atau desentralisasi. Namun, karya mereka memberikan
inspirasi bagi sejumlah studi yang mendeskripsikan pola hubungan pemerintah
pusat-daerah di berbagai negara.
Kedua, ada kekhawatiran dalam
mengembangkan sifat yang tepat dan signifikansi dari setiap perubahan
hubungan pusat-daerah, seberapa jauh reformasi yang telah
diperkenalkan atau diusulkan mengubah pola hubungan tersebut?
Misalnya, ada banyak litarur di Perancis, Spanyol dan Italia
yang melihat pentingnya regionalisasi sebagai
faktor yang mengubah pola tradisional hubungan pusat-daerah (Meny,
1982), dan di Inggris yang mengkaji dampak pembatasan belanja daerah
yang dikenakan oleh pemerintah Konservatif pada tahun 1979 pada
konsep-konsep yang lebih tradisional tentang bidang apa saja
yang seharusnya melibatkan otonomi daerah (Goldsmith dan Newton,
1984).
Perkembangan Kota Administratif Daerah Tingkat II
03.53
Dalam kunjungan saya ke Mendagri (Kementrian
Dalam Negeri) tertanggal 13 Desember lalu, dalam tugas tambahan yang diberikan
oleh Prof. Bhenyamin Hoessein tentang perkembangan kota administratif. Saya
bertemu dengan salah satu staf Kemendagri, bernama Bu Dian, dalam share singkat
kami, beliau menjelaskan permasalah berkenaan dengan Kota Administratif di Indonesia,
menurut beliau untuk kondisi saat ini istilah kota administratif sudah tidak
ada (tidak dipraktekan lagi), tetapi praktek tentang kota adminstratif ini
pernah di praktekan di Indonesia. [1]
Dari beberapa sumber yang saya dapati, Kota
administratif didefinisikan sebagai sebuah wilayah administratif di Indonesia yang dipimpin oleh wali kota administratif. Keberadaan kota administratif diatur
oleh Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1974
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Kota administratif bukanlah daerah otonom
sebagaimana kotamadya atau kota,
dan karena itu tidak memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Walikota administratif
bertanggung jawab kepada bupati kabupaten induknya. Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 1999, di Indonesia tidak dikenal lagi istilah kota administratif
karena pembagian provinsi hanya terdiri atas kabupaten dan kota.
Akibatnya kota administratif harus berubah status menjadi kota atau
bergabung kembali dengan kabupaten induknya.
Dalam Administrasi Negara Indonesia, Kota
adalah satuan administrasi negara otonom di bawah provinsi dan di atas kecamatan, selain kabupaten, yang memiliki ciri fisik sebagai suatu perkotaan.
Penulisannya selalu dengan huruf besar dan sebaiknya disertai dengan nama
penjelas yang mendampinginya (seperti "Kota Semarang") karena Kota
adalah suatu nama diri. Pendirian unit ini didasari oleh UU no 22 tentang
Pemerintahan Daerah tahun 1999. Satuan administrasi ini sebelumnya dikenal
sebagai "Kotamadya".
Kota dipimpin oleh seorang Wali Kota yang
didampingi wakil wali kota. Keduanya dipilih secara bersama secara langsung
oleh warga Kota tersebut. Kota, di Indonesia, adalah pembagian wilayah administratif
setelah provinsi, yang dipimpin oleh seorang wali kota.
Dalam konteks Indonesia istilah ini digunakan untuk membedakan dengan kota yang
secara administratif di bawah sebuah kabupaten. Kota berkedudukan sejajar dengan kabupaten dan
kedudukan wali kotanya sejajar dengan bupati.
Asimetris di Federasi-Federasi Negara, Negara-Negara Federal dan Negara Kesatuan
03.53
John McGarry
Queen’s University, Kingston, Ontario
Ilmuwan politik pertama yang secara
formal membahas asimetris dalam konteks federasi-federasi adalah seorang
berkebangsaan Amerika yaitu Charles Tharlton di dalam “The Journal Politics”
(Tarlton,1965). Tarlton menunjukkan bahwa studi klasik mengenai federasi, oleh
K.C. Wheare dan lainnya, memiliki relasi yang terfokus antara pusat federasi
dan wilayah federasi dan mengira bahwa wilayah federasi masih sama kedudukannya
dalam hubungan mereka dengan pusat federasi dan yang lainnya. Itulah,
mereka yang mengira sebuah negara federasi terdiri dari wilayah yang identik.
Tarlton menunjukkan bahwa faktanya sebuah wilayah dalam negara federasi
bervariasi dengan berbagai cara, termasuk dalam ukuran mereka, populasi dan
bobot suatu institusi dalam federasi, berbagi sumber daya alam dan fiskal, dan
budaya, bahwa ini menunjukkan adanya ketimpangan yang mendalam dalam hubungan
mereka secara asimetris satu sama lainnya dan dengan sistemnya secara
keseluruhan. Asimetris ini, Tarlton berargumen, memunculkan berbagai isu yang tidak
dapat dipahami melalui premis simetris dalam studi klasik.
Dewasa ini, diskusi mengenai asimetris
dan federasi tidak mengikuti “pendekatan Tarlton”. Sebuah federasi asimetris
sekarang selalu dipahami sebagai sebuah negara dimana semua daerahnya mempunyai
jaminan otonomi menurut konstitusi, tetapi dimana ada setidaknya satu daerah
diperlakukan berbeda, biasanya ditingkatkan, level dari otonomi dari yang lain.
Asimetris juga digunakan untuk menggambarkan kasus-kasus dimana sedikitnya satu
bagian dari negara yang menganut otonomi, tetapi yang lain tidak mengikuti.
Jika otonomi ini dijamin oleh konstitusi, dan tidak dapat dibatalkan oleh
otoritas pusat negara secara sepihak, maka “federasi” ada dan diakui. Jika
pusat mampu membatalkan sebuah otonomi, maka ada desentralisasi secara
asimetris dalam negara kesatuan.
Pengaturan institusional asimetris
timbul untuk alasan yang berbeda. China, sebuah negara kesatuan, mengijinkan Hongkong mendapat
otonomi yang lebih luas dibandingkan yang diperoleh oleh sebagian
daerah lainnya, karena ini akan mendorong penyerapan ulang dan membawa
keuntungan bagi ekonomi. Dalam banyak kasus, bagaimanapun, asimetris
adalah sebuah respon terhadap eksistensi dari keanekaragaman bangsa
yang plural. Hal itu bermula baik sebagai tanggapan atas suatu
tuntutan terhadap derajat kekhususan dari sebuah otonomi suatu pergerakan
kebangsaan (didefinisikan di sini sebagai bangsa tanpa negara atau bangsa
“minoritas”), atau ketika sebuah entitas independen secara khusus diberikan
keistimewaan berpemerintahan mandiri sebagai imbalan untuk bergabung kembali
dengan negara tersebut. Contoh masih adanya bentangan pengaturan asimetris dari
United Kingdom (Britania Raya), dimana Skotlandia, Wales, Irlandia Utara semua
menerima perbedaan level untuk berpemerintahan mandiri, tapi Inggris masih
mengatur melalui Westminster; juga Indonesia yang telah memberikan
Aceh tambahan otonomi lebih dari daerah-daerah lain oleh negara; dan Malaysia
dan India, dimana beberapa wilayah federalnya mempunyai kadar otonomi yang
lebih dari yang lain.
Tipe Hukum Philippe Nonet dan Philip Selznick
03.51
Dalam bukunya Hukum Responsif Pilihan di Masa Transisi ini,
pendekatan hukum responsif diharapkan bisa membantu memecahkan
persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Tujuan hukum harus benar-benar
untuk men-sejahterakan masyarakat dalam kepentingan yang lebih besar, bukan
untuk kepentingan mereka yang berkuasa. Philippe Nonet dan Philip Selznick
mengakhiri suatu cara berfikir tertentu yang bersifat linier dan matematis,
yang dimaksud adalah meletakkan perkembangan dan pembangunan hukum secara
linier yang dikemas dalam bentuk “Teori Modernisasi”. Teori tersebut berjaya
pada tahun 60-an tetapi mulai surut sejak tahun 70-an. Teori modernisasi secara
sederhana mengatakan, bahwa negara-negara berkembang akan mencapai suatu
tingkat perkembang hukum yang dinikmati oleh negara-negara maju atau modern
asal mau mengikuti jalan yang ditempuh oleh masyarakat maju tersebut. Apabila
negara berkembang mampu menghilangkan hambatan-hambatan ke arah modernisasi,
maka akan dijamin menjadi negara maju. Jaminan tersebut lebih banyak tidak
terbukti dan mulailah teori tersebut ditinggalkan.
Maka dari itu Philippe
Nonet dan Philip Selznick mengembangkan model development. Kelebihan
model development Philippe Nonet dan Philip Selznick terletak pada
pemahamannya tentang betapa kompleksnya kenyataan antara hukum dan masyarakat.
oleh teori modernisasi, realitas yang kompleks telah direduksi menjadi sangat
sederhana, sehingga gagal lah teori tersebut membuat ramalan tentang
perkembangan hukum dalam masyarakat. Philippe Nonet dan Philip Selznick
menyadari kenyataan yang rumit antara hukum dan masyarakatnya. disitulah
kelebihan development model mereka. hal tersebut memperkuat keyakinan
kita bahwa semakin kokoh suatu teori berpijak pada pada kenyataan semakin besar
pula kekuatannya. kendatipun Nonet dan Selznick mengunggulkan tipe hukum yang
responsive tetapi itu tetap dipegangnya dengan reserve. keberhasilan
hukum responsif akan sangat ditentukan oleh oleh tersedianya modal sosial dalam
masyarakat yang bersangkutan. bahkan apabila yang kita inginkan adalah
stabilitas, maka kedua penulis itu lebih mengunggulkan tipe hukum yang otonom.
Sebelum melangkah ke
pemikiran hukum responsif, Nonet dan Selznick membedakan tiga klasifikasi dasar
dari hukum dalam masyarakat, yaitu: (1) hukum sebagai pelayanan kekuasaan
refresif, (hukum represif), (2) hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu
menjinakkan refresi dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan (3)
hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi
sosial (hukum responsif). Nonet dan Selznick beranggapan, bahwa hukum represif,
otonom, dan responsif bukan saja merupakan tipe-tipe hukum yang berbeda tetapi
dalam beberapa hal juga merupakan tahapan-tahapan evolusi dalam hubungan hukum
dengan tertib sosial dan tertib politik. Keduanya selanjutnya menyebut
tahapan-tahapan evolusi tersebut sebagai model perkembangan (developmental
model). Di antara ketiga tipe hukum tersebut, Nonet dan Selznick berargumen
bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng
dan stabil. Model perkembangan dapat disusun ulang dengan fokus pada hukum
otonom, dengan menunjuk pada konflik-konflik pada tahapan tersebut yang
menimbulkan tidak hanya risiko kembalinya pola-pola represif namun juga kemungkinan
terjadinya responsivitas yang lebih besar. Karakter masing-masing tipe dapat
dilihat seperti tabel Tiga Tipe Hukum di bawah ini:
Pemilu dan Potensi Krisis Konstitusi di Indonesia
03.50
Kurang lebih skitar 5 bulan yang lalu ketika saya masih
studi di program pasca sarjana judul yg hendak saya pilih dalam rencana tesis
saya adalah potensi krisis konstitusi, ide ini muncul setelah saya membaca
tulisan dari prof yusril ihza mahendra beliau mengatakan bahwa konstitusi kita
saat ini sangat rentan dan memungkinkan terjadinya krisis konstitusi.
Dalam pemahaman negara-negara eropa krisis konstitusi (constitutional
crisis) di definisikan is a situation that the legal system's constitution or
other basic principles of operation appear unable to resolve; it often results
in a breakdown in the orderly operation of goverment.
Often, generally speaking, a constitutional crisis is a situation in which
separate factions within a goverenment disagree
about the extent to which each of these factions hold soverignty.
Most commonly, constitutional crises involve some degree of conflict between
different braches of goverenment
Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila
belum ada norma atau aturan yang mengatur scara eksplisit maupun implisit
tentang suatu permasalahan konstitusi.Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam
karyanya moderen constitution mengatakan bahwa konstitusi merupakan
kumpulan peraturan yang mengatur pemerintahan negara, lebih luas lagi Van
apeldorn mengatakan bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun
tidak tertulis (unwriten). Secara sederhana konstitusi dapat dipahami
sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun tidak) dengan tujuan mengatur
penyelenggaraan pemerintahan negara yang memiliki kedudukan hierarkis tertinggi
dalam sebuah negara. Jika menggunakan pendekatan dari teori ini maka harusnya
konstitusi memuat aturan yang bersifat detil sehingga meminimalisir potensi
terjadinya krisis konstitusi.
Dalam tulisannya prof yusril mendeskripsikan suatu kasus
yang bisa saja menimbulkan krisis konstitusi seperti dlm kasus impeachment (pemakzulan). Didalam
pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan bahwa
“jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan
kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis
masa jabatannya.” Sedangkan jika berhalangan tetap scara bersamaan maka
jalannya pemrintahn akan dilaksanakn secara bersama oleh triumvirat (Menteri
dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.
Permasalahanya adalah, jika presiden dan wakil presiden
brehalagan tetap scara bersamaan dan kemudian mendemisionerkan kabinet (trmsuk
triumvirat) mengingat presiden mempunyai hak prerogratif maka dapat dipastikan
tidak ada yang menjalankan pemerintahan (vacum of power) Kasus yg
seperti ini kemudian dipandang oleh prof yusril sebagai pintu awal terjadinya
krisis konstitusi karena memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian
mengatur permasalahan ini.
FENOMENA CALON LEGISLATIF; Pengabdian atau Jobless Haruskah kita percaya pada Mereka ?
03.49
Permulaan
tahun 2014 di indonesia diwarnai oleh aktivitas politik, even lima tahunan yang
dilaksanakan secara continuitas seolah menandakan bahwa pada tahun ini akan
terjadi perebutan “kekuasaan” baik diranah eksekutif maupun Legislatif. Jika di
tahun 2009 Jumlah Parpol yang ikut dalam pemilu berjumlah 34 parpol maka
ditahun 2014 ini terjadi penurunan menjadi 15 parpol saja. Walaupun demikian yang
menarik dalam pemilu 2014 ini adalah jumlah calon anggota legislatif yang
berjumlah 200.000 orang yang akan memperebutkan 19.000 kursi di parlemen
(detik.com). Angka ini terlihat wajar dan berbanding lurus dengan luas
teritorial Negara Indonesia, tetapi bagi sebagian orang partisipasi politik
seperti ini menimbulkan banyak pertanyaan.
Baik
konstitusi maupun undang-undang kepemiluan secara tegas tidak membatasi warga
negara indonesia untuk terlibat secara langsung dalam proses ini. Ke-16 butir
syarat sebagaimana disebutkan oleh pasal 51 Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 Tentang
Pemilihan umum Anggota DPR,DPD,DPRD, terbilang “longgar”. Jika ke-16 syarat ini
dianalisis satu persatu maka kita akan sampai pada sebuah kesimpulan bahwa
untuk menjadi caleg di Indonesia tidak memerlukan kriteria khusus, tidak pula
mengharuskan seseorang untuk cedas secara intelektual, teruji secara kapasitas
dan kapabilitas ataupun memiliki intgeritas tinggi.
Celah
diantara syarat ini kemudian melahirkan para calon wakil rakyat dari berbagai
latar belakang yang berbeda satu sama lainnya, dimulai dari tokoh nasional,
politisi, praktisi, ulama, Mahasiswa, (fresh
graduated), ibu rumah tangga, tukang sayur, mantan narapidana, preman,
kalangan seleberitas penyanyi dangdud dan sebagainya. Partisipasi seperti ini
wajib di apresiasi oleh negara yang menjunjung tinggi prinsip demokratis
seperti indonesia tetapi, harus dipahami bahwa masyarakat kita saat ini masih
memandang demokrasi sebagai suatu Tujuan Akhir (main goal) bukan melihat pada prosesnya.
EVALUASI DAN REFLEKSI 4 TAHUN PERJALANAN PROPINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG DALAM DEKADE ERA EMAS
03.47
Masyarakat
babel ahkir-ahkir ini mulai mempertanyakan persoalan efektifitas kinerja
pemerintah daerah. Dalam hal ini, di bawah kepemimpinan kepala daerah yang
mengusung semangat era emas,
Persoalan
efektifitas ini sebenarnya patut di pertanyakan oleh publik, sebab apapun
kebijakan yang dijalankan atau diambil pemerintah, maka publik (masyarakat)
berhak tahu atas kebijakan tersebut.
Pertanyaannya,
apakah benar pemerintahan yang megusung semangat era emas ini terbilang gagal
atau sebaliknya? Kemudian apakah ada kolerasi positif persoalan efektifitas
pemerintah daerah babel terhadap perealisasian program kerja kepala daerah,
Upaya
menjawab pertanyaan itu sangatlah penting, sebab efektifitas kinerja kepala
daerah babel harus tetap menjadi prioritas utama demi menyongsong perkembangan
dan kemajuan Propinsi ini,